Friday, November 13, 2009

Ketika Ku Berada di Penghujung Pilihan

Ketika Ku Berada di Penghujung Pilihan
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Ketika bulan tengah sempurna bulat dengan cahayanya yang tak menyilaukan mata. Begitu indah purnama itu. ku tatap dalam-dalam, ku resapi, kususuri sejauh pandanganku. Hening, tak ada suara apapun saat itu. Mungkin yang mampu kurasakan hanya hembusan angin berkali-kali yang menggelitik aku, seolah ia hendak menyapa dan menghibur diriku kali ini. Di saat itu pula rinai air mata jatuh satu demi satu. Perjalanan yang baru kutempuh ini hampir membuatku enggan untuk melangkah lagi. Aku trauma setelah ku mulai kesendirian ini tanpa dirimu lagi.

Dulu, meski pernah ada sebongkah asa untuk bisa saling berbagi kasih, namun rasa khawatir itu selalu hadir mengiang-ngiang, membuntuti alam pikiranku kemanapun aku pergi. Ya.... aku selalu takut kehilangan sosok dirimu. Dirimu yang dulu begitu membuai hatiku. Begitu menguatkan kenyakinanku untuk terus bersamamu selamanya. Dirimu yang selalu hadir meski hanya dari sebuah pesan singkat ( SMS ), atau sebuah telepon sebagai pengantar tidur.

Cintamu seperti begitu tulus untukku seorang. Mungkin aku terlena karena cinta yang begitu membara, membuncah di antara semak-semak hatiku.Berulang kali ku tangisi cinta maya ini. Begitu hampa jika aku hanya dapat bertemu denganmu walau hanya dalam tulisan-tulisanmu. Beberapa kali kutemui dirimu lewat webcam laptopku. Mungkin akan terdengar aneh, jika aku menangis atau tertawa di depan LCD ku. Jari-jarikupun sebagai saksi cinta kita saat itu. Ia dengan luwesnya selalu cepat memencet tombol-tombol yang ada di keybord untuk segera membalas tulisan-tulisan darimu. Sebuah resiko yang harus kutempuh jika waktu dan tempat
tak pernah aku permasalahkan.

Lima bulan sudah berlalu, membuat rinduku semakin menggebu-gebu. Tapi sayangnya, rinduku ini terseok-seok. Ia seperti terabaikan dan akhirnya terlunta-lunta karena tak pernah terpenuhi. Menyakitkan, kami belum berjumpa sekalipun ! Karena kamu berada di Pakistan, sedangkan aku di Indonesia, inilah yang menjadi "the big reason". Hingga suatu kali Tuhan mengijinkan aku bertemu dengannya. Dia benar-benar datang menjumpaiku ke Indonesia. Sebuah hadiah yang telah kunanti-nanti tepat di hari ulang tahunku. Dalam kehadirannya, dia begitu mempesona. Berkulit kemerahan dengan hidung khasnya yang mancung. Tubuhnya yang tinggi dan kokoh seperti melengkapi kegagahannya. Aku begitu sangat terkesima pada kesan pertama ini.

Meski bahasa yang kami pakai adalah bahasa Inggris yang belum sempurna kuucapkan, dia begitu ramah.Ternyata gayung bersambut, pertemuan itu tidak sia-sia rupanya. Hati kami seolah saling bertautan. Dia ingin mengajakku pergi ke tempatnya untuk meninggalkan Indonesia bersamanya. kala itu, aku begitu bimbang. Keluargaku tak menyetujuiku. Kamu hanya memberiku waktu tiga hari untuk memberi jawaban. Tiga hari itu pula yang menjadi malam-malam penuh dilema. Begitu sulitnya aku harus memilih, seakan melemaskan urat-urat syarafku ini. Makan dan minum pun jadi enggan untuk kunikmati. Akhirnya tiga hari itu berakhir. Akupun harus memberi keputusan. Meski teramat berat, akhirnya aku menyerah. Kulepas kamu pergi kembali ke Pakistan seorang diri.

Aku tau jika dia begtu kecewa, aku juga tau jika seharusnya aku enggan memilih keputusan ini. Tapi, hidup ini harus memilih. Meski kesendirianku ini begitu menyakitkan, kucoba bertahan mengarungi hari-hariku menjelang.

Saturday, October 31, 2009

Pengemis

PengemisKumpulan Cerpen Siti Arofah. Pengemis, suatu nama yang menjadikan dirinya mungkin layak diberi sebuah rasa kasihan. Hidup dengan berharap dari belas kasih manusia. Kian hari mereka kini begitu banyak jumlahnya. Kita bisa menemuinya di bus-bus kota, di trotoar jalan, di perempatan jalan menanti mobil yang sedang menunggu lampu merahhberganti hijau atau sesekali melewati rumah demi rumah menunggu belas kasih seseorang.

Mereka kadang-kadang penipu. Mengaku sebagai kaum papa, tapi nyatanya rumah di kampung halamannya sungguh besar luar biasa. Mereka hidup merantau ke kota dan menjadi pengemis sebagai profesinya. Kadang kala, mereka berpura-pura cacat. Entah itu tangannya yang ditekuk ke dalam baju hingga bajunya terlihat kosong tanpa tangan. Atau juga dia berjalan dengan bertumpu pada tangan sambil menyeret kakinya mengharap iba dari para penumpang bus. Namun adapula yang berpura-pura sebagai orang yang telah bertaubat dalam lumpur dosa, dia menceritakan panjang lebar tentang kisahnya di dalam bus kota seakan tak punya uang untuk bekal kembali ke desanya.

Belakangan kudengar jika kita memberi uang pada kaum seperti mereka akan dikenakan sanksi. Sungguh suatu dilema. Akankah kita akan menjadi manusia yang sulit berbagi ? Tegakah kita melihat seseorang yang papa, yang seharusnya membutuhkan uluran tangan kita ?

Entahlah, aku sama sekali tak menghiraukan aneka kelakuan dari si pengemis. Biar bagaimanapun bagiku hanya Tuhanlah yang berhak menghakiminya. Suatu saat kutemui pengemis dengan jalan tertatih-tatih. Ia ragu-ragu ingin mengulurkan tangannya padaku. Setelah aku lewati dirinya, aku melihatnya dari arah belakang. Dugaanku ternyata salah, ia benar-benar berjalan dengan bersusah payah. Seorang lelaki tua dengan baju hitam pudar yang sudah kumal. Mungkin sehari ini belum cukup makanan yang masuk ke kerongkongannya, kupikir. Buru-buru aku mengambil selembaran uang yang ada dalam tasku dan menyuruh anakku untuk segera memberikan uang ini padanya. Anakku berlari padanya. Pengemis itu memandangi diriku dari kejauhan , berkali-kali dia menundukkan pandangannya seperti tanda berterima kasih. Meski sedikit yang kuberi, tiba-tiba saja perasaan bahagia muncul begitu saja meletup-letup dalam relung hatiku.

Pernah suatu ketika kulihat seorang lelaki, dengan tubuh yang tak tampak renta menelungkupkan tangannya ketika aku menghampirinya. "Maaf, Pak" begitulah yang terlontar dari dalam mulutku. Meski dalam hati ingin rasanya memarahinya, membentaknya mengapa dengan tubuhnya yang masih terlihat gagah beraninya ia sampai hati menjadi pengemis. Padahal Bisa saja orang itu menjadi kuli pengangkat beras di pasar. Bukankah tangan di atas adalah lebih baik ketimbang tangan di bawah ? Meski hatiku meronta-ronta dibuat kesal oleh pengemis yang gagah itu, aku tetap tak bernyali untuk memakinya. Aku teringat pesan orang tuaku kalau pengemis itu tak boleh dihardik.

Hari demi hari kutatap matahari begitu panas menyengat. Mungkin begitu pula dengan orang - orang lainnya. Mungkin banyak orang mengeluh karenanya. Terutama jika mereka tengah berada di luar sana di dalam bus kota yang penuh sesak berpacu melawan kemacetan. Mau tak mau batin berperang ingin menyudahi situasi ini. Meski aku tak hidup di kota yang katanya hidup penuh gemerlap dan serba ada, harusnya kusyukuri ni'mat Illahi yang tiada taranya ini.

Friday, October 30, 2009

Ketika Gempa Terjadi

Ketika Gempa TerjadiKumpulan Cerpen Siti Arofah. Belakangan ini Indonesia didera bencana gempa bumi yang bertubi-tubi. Sudah pasti banyak air mata karena peristiwa itu. Ada bayi-bayi yang tiba-tiba menjadi yatim piatu, belum lagi mereka kehilangan tempat tinggal dan penyakit meraja rela di sana sini. Trauma pasca gempa menghantui jiwa-jiwa mereka. Lapangan pekerjaan sirna dalam sekejab. Anak-anak menangis karena menahan lapar atau kedinginan karena tak ada selimut atau karena ditinggalkan orang tua mereka untuk seumur hidupnya. Sedang orang tua yang masih hidup kebingungan, ia tak bisa memberi apa-apa lagi untuk anak-anaknya.

Seorang temanku kebetulan orang tuanya tinggal di kota Pengalengan, Bandung. Saat gempa Tasikmalaya terjadi, rumah orang tuanya luluh lantah rata bersama tanah. Suasana duka menyelimuti hati mereka. Malam yang gelap gulita karena jaringan listrik yang ikut mati membuat suasana menjadi semakin mencekam. Belum lagi, masih ada kasus yang sungguh mengenaskan saat itu. Ada segerombolan manusia mengais sisa-sisa reruntuhan rumah bekas gempa yang telah rata. Betapa tak punya perasaan sedikitpun manusia yang tega berbuat seperti itu. Di tengah bencana teganya dia mencuri barang dari orang yang terkena bencana. Belum lagi bantuan dari pemerintah terlambat untuk dikucurkan. Suatu hari hanya tersedia satu indomie saja, padahal untuk satu keluarga. Bagaimana mereka membaginya ? Ah, aku tak tega untuk menceritakannya.

Teganya lagi ada oknum pejabat daerah yang tega menyelewengkan dana bantuan untuk korban gempa. Bagaimana bisa uang yang seharusnya diperuntukkan bagi orang yang terkena musibah dan mereka sangat sedang membutuhkannya diraupnya dengan begitu serakah. Apakah mereka tak takut akan azab Tuhan yang sangat keras siksanya ? Apakah masih belum cukup musibah yang baru saja ditimpakan untuknya ? Aku hanya bisa terdiam sejenak lalu mengurut dada, beristighfar berkali-kali, berharap orang-orang itu mendapat hidayah.

Baru saja pemerintah kita baru terpilih menjalankan tugasnya. Ketika menjabat beberapa hari, issue kenaikan gaji para menteri merebak untuk segera ditunaikan. Dan diumumkan bahwa satu persatu, mereka mendapat fasilitas mobil mewah dengan harga yang cukup fantastis, 1 milyar. Sebagai rakyat biasa, Jika saja aku yang mendapatkannya, meski setiap orang pasti akan senang jika mendapat sesuatu yang gratis apalagi dengan harga yang sangat tinggi. Tapi jika aku yang mendapatkannya, Sungguh akan kukembalikan lagi mobil itu. Buat apa aku mengendarai mobil lux, tapi aku hidup ditengah rakyat yang miskin yang seharusnya kita santuni. Aku lebih memilih mengendarai mobil biasa, dari pada menaiki mobil dari tangis air mata penderitaan rakyat jelata.

Kini, di tengah maraknya gempa yang melanda, masyarakat seolah-olah dihantui oleh ketakutan jika gempa itu benar-benar kembali menimpa lagi. Bagaimana jika gempa itu terjadi disaat kita sedang terlelap tidur dan dibuai mimpi ? Bagaimana jika tiba-tiba tidur kita menjadi tidur yang panjang menunggu hari penghitungan amal dari segala perbuatan kita ? Bagaimana jika kita tiba-tiba telah dikafani untuk dikuburkan bersama-sama dengan korban gempa lainnya ? Mari kita memperbaiki dan mulai menabung ibadah masing-masing untuk bekal kita di hari yang kekal. Yang terbaik adalah bersegeralah, mumpung kita masih diberi waktu.

Tuesday, October 20, 2009

Ketika Terbalut Duka

Ketika Terbalut DukaKumpulan cerpen Siti Arofah. Tiba-tiba saja naluriku sebagi seorang lelaki hadir dalam adrenalinku meskipun statusku kini telah memiliki seorang istri dan dikaruniai dua orang bocah laki-laki. Aku juga tak mengerti mengapa semuanya bisa terjadi begitu saja. Antara rasa cinta dan iba sama sekali tak kukenali keduanya. Semenjak ia sering curhat padaku mengenai keadaan rumah tangganya padaku, rasa itu hadir menggelayuti sudut-sudut ruang hatiku.

Dialah Yanti, rekan sekerjaku, yang sehari-harinya kerap berbicara, entah itu seputar masalah kerja atau sekedar obrolan basa basi mencairkan suasana kerja yang penuh menguras tenaga dan otak. Ia begitu energik dan selalu ceria. Tak pernah sedikittpun terpancar kegundahan hatinya. Karena aku merasa cocok dengan gaya bicaranya yang sopan, dan kadang-kadang sedikit manja, akhirnya setiap makan siang kami keluar makan bersama, terkadang bersama rekan kerja lainnya. Hingga akhirnya kami seperti sepasang sahabat yang dibatasi oleh tali pernikahan masing-masing.

Mungkin karena kedekatan ini, antara aku dan dia sering menanyakan kabar masing-masing. Terkadang aku memberitau dia kalau anakku sedang panas dan tak mau makan. Dia dengan serta merta penuh semangat menyuruhku untuk membeli vitamin nafsu makan dan menyegerakan membawanya ke tukang urut. Meski tampak seperti seorang wanita yang bawel, aku menikmati ocehannya itu. Jika ia tak masuk kerja rasanya ada yang kurang dan mengganjal hati. Meski hanya satu hari aku merasa kehilangan sososknya. Kata-katanya begitu lembut dan sangat hati-hati sekali, oleh karenanya dia begitu memberi kesan tersendiri bagiku.

Suatu saat kupergoki dirinya seorang diri termenung di depan monitor kerjanya, mata berkaca-kaca. Buru-buru ia mengusap matanya dengan tissue yang ia peroleh dari dalam sakunya. Aku tau kalau air mata itu adalah air mata sungguhan. Hari ini Yanti tampak tak seperti biasanya. Untungnya di ruangan ini sepi, semua karyawan sedang makan siang di kantin. Aku jadi lebih leluasa mengintrogasinya.
"Yanti, ada apa ? katakan yang sesungguhnya padaku !" Kali ini aku benar-benar memaksanya untuk menjawab.
"Ga' ada apa-apa koq, aku baik-baik aja." Dia berusaha berkelit menutupi kesedihannya.
"Buat apa ada aku ? Aku ini kan sahabatmu, ayo ceritakan, please deh..... !" Aku mengulangi permintaanku lagi.
Sesekali Yanti tampak ragu menatapku, seolah ia tak mau berbagi masalahnya padaku.
Tapi beberapa saat kemudian, dia mulai mengawali kalimatnya.
"Aku udah ga' tahan, Pras. rasanya aku ingin pergi menjauh dari rumah !"
'Lho, ada apa Yanti ?" kata-kata yanti membuatku bingung.
"Kami memang serumah, tapi hati kami tertambat di suatu tempat yang berbeda. Di rumah, kami seakan menjadi orang yang tidak saling mengenal. Suamiku benar-benar pasif, Pras. Bicaranya sangat sedikit sekali. kamu kan tau aku ini orangnya suka celoteh. Ya...kalau aku terus - terusan yang bicara, pincang sebelah dong ? Aku merasa tak ada teman berbagi di rumah."
Perlahan aku mengernyitkan dahiku, kutatap mata Yanti dalam-dalam, aku sungguh tak bisa mempercayai kata-kata yang baru terucap di bibir Yanti. Seorang Yanti yang dulu penuh keceriaan, ternyata keceriaannya selama ini sungguh berbeda dari kenyataan.
"Sabar, Yanti. Semuanya belum berakhir. Kamu masih bisa merubahnya." Aku mencoba membantunya.
TIba-tiba satu demi satu para karyawan datang tanda jam istirahat telah usai. Akhirnya kamipun buyar ke tempat kerja masing-masing.

Semalaman aku tak bisa tidur. Pikiranku selalu berputar-putar memikirkan Yanti. Aku tak tega melihat yanti menderita. Berkali-kali aku menggeleng, kenapa suaminya tega terhadap Yanti. Orang sebaik Yanti rasanya tak pantas mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya. Dari sinilah getar-getar cinta ku datang. Aku jadi merasa ingin meilikinya.

Keesokan harinya, di siang hari, aku mengajaknya makan ke kantin bersama. namun ajakanku sama sekali tak digubrisnya. Ia tak bergeming sedikitpun dari kursinya. Dengan sedikit gugup kukatakan jika aku mencintainya. Mendengar ucapanku itu, sesaat yanti tampak terdiam. Dia memandangi diriku yang penuh harap-harap cemas menanti jawaban apa yang akan datang dari bibir yanti setelah ucapanku ini.

Lama sekali ia menatapku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.
"Mas, cinta memang hak setiap orang. Mas bisa aja cinta saya. Kalau mas memang mencintai saya, tolong cintai istri mas sepenuh hati, jangan sakiti hatinya ! Tolong biarkan aku sendiri seperti ini !" Yanti langsung pergi meninggalkanku.

Yanti, yanti. Mengapa hatimu selembut salju, kamu begitu kuat mencintai suamimu. Semoga Suamimu akan kembali menyayangimu.

Saturday, October 17, 2009

Asa Dalam Rinai Air Mata

Asa Dalam Rinai Air MataKumpulan Cerpen Siti Arofah. Akhirnya aku kembali bekerja lagi. Betapa baik hatinya majikanku mau menerima aku kembali sebagai buruhnya lagi. Setelah sebelumnya aku kembali ke rumah orang tuaku karena sakit panas yang tak kunjung reda. saat itu, tubuhku telah tak berdaya. Untuk pulangpun, aku diantar temanku. Mungkin typus yang telah menderaku waktu itu, nyatanya di rumah orang tuaku, aku diberi ibuku minuman yang dibuat dari cacing yang telah dibakar dan ditumbuk, aku disuruh meminumnya beberapa hari layaknya minum kopi. Selang beberapa hari penyakitku pergi, aku telah segar kembali seperti sedia kala.

Aku adalah pengantar air galon keliling. Kulakoni pekerjaan ini meski hasil dari jerih payahku ini tak seberapa besar. Aku hanya mampu mecukupi kebutuhanku sendiri. Kerasnya kehidupan yang kian hari kian harus lebih berjuang guna bertahan hidup memompa adrenalinku untuk bisa memilih masa depan. Begitu sulitnya mencari lapangan pekerjaan saat ini. Pengangguran merambah dimana-mana, belum lagi PHK juga semakin meraja rela. Daripada menjadi pengangguran tak menentu, mau tak mau aku pilih pekerjaan ini, meski hanya sebagai pengantar air galon keliling.

Untungnya, majikan tempatku bekerja sangat baik. Ia memperhatikan kebutuhanku. Biaya kost dan makan sudah ditanggung oleh majikanku. Aku diberi imbalan uang rokok dan seribu rupiah tiap galon yang aku antar. Dengan pendapatanku yang seperti itu, aku jadi tak bisa mengirimi uang untuk orang tuaku. Tapi betapa besarnya hati orang tuaku, nyata mereka disana memahami keadaan diriku. Kadang, rinai air mata ku tak kuasa turun satu demi satu membasahi pipiku di kala aku sedang sendiri. Aku seperti anak yang tak tau diri telah tega tak mengingat keberadaan orang tuanya.

Sedang usiaku, kian hari semakin bertambah, sejenakpun tak mau berhenti meski hanya untuk sesaat sekalipun. Manusiawi, sebagai seorang laki-laki keinginan untuk menikah selalu menyambangi dalam kubah hatiku ini. Bukankah bayangan-bayangan indah bersama sang pujaan hati adalah impian setiap insan di jagad raya ini ? Tapi, bagaimana dengan aku yang seperti ini ? Kadang, aku begitu takut menunggu saat masa depanku tiba. Harapan-harapan indah seolah hanya sebagai bunga mimpi belaka penghias di siang bolong.

Di sebuah malam di bawah lampu temaram kutatap langit membiru gelap. Begitu sempurna keindahannya, bintang-bintangnya bertaburan, mereka seakan mengajakku tertawa riang untuk sejenak melupakan kesedihanku ini. Kadang aku tersenyum pada mereka berharap mereka senang jika aku bahagia. Merekalah temanku sepanjang malam-malam sepiku yang tanpa bertepi. Ingin sekali kupetik satu saja darinya. Ah, bodohnya aku terlalu lama berhayal ! Aku kembali dalam do'a di atas sebuah sajadah biru pemberian ibu saat aku ingin berangkat merantau berharap Sang Illahi mau mengubah nasibku kelak.

Friday, October 16, 2009

Jangan Kau Cepat Pergi, Mimpi

Jangan Kau Cepat Pergi MimpiKumpulan Cerpen Siti Arofah. Pagi ini aku terbangun dari sebuah mimpi. Mimpi yang paling terindah dari sekian mimpi-mimpiku yang pernah ada. Aku bertemu dengan istriku yang telah meninggalkanku beberapa tahun yang lalu. Ia pergi meninggalkan aku dan seorang buah hati kami sesaat setelah berhasil melahirkan Aisyah, putri tunggal kami yang cantik secantik Mamanya. Ya,... istriku pergi setelah berjuang untuk bisa melahirkan Aisyah, meski nampak sangat berat perjuangan itu akhirnya berakhir maut.

Dalam mimpi itu, aku benar-benar tak menyadari jika saat itu aku tengah di alam mimpi. Seakan antara semu dan nyata tak sedikitpun ada bedanya . Istriku benar-benar hadir menemaniku. Tubuhnya terbalut gaun serba putih. Ia nampak begitu cantik sekali. Tiada cacat satupun padanya, aku semakin terpesona padanya. Senyumnya masih sama seperti saat-saat terindah dulu ketika ia masih hidup. Saat itu, aku seakan hendak bertamu di sebuah istana yang sangat megah dan indah serba bercahaya. Dalam hati bertanya-tanya, siapakah penghuni istana nan indah dan megah ini ? Tiba-tiba saja aku terhenyak kaget luar biasa, ternyata yang membuka pintu itu adalah istriku. Sejenak aku terdiam, kupandangi dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki, saat tangannya yang lembut itu memegang gagang pintu yang terbuat dari emas, kukenali kalau tangan itu adalah tangan istriku. Dia menjawab salamku dengan penuh mesra, tanganku dikecupnya. Dia bagaikan seorang bidadari dari syurga untukku. Sayangnya, mimpi ini berakhir terlalu dini. Aku terbangun. Air mataku mengalir begitu saja, seakan tak rela jika mimpi ini masih ingin kulanjutkan.

Fitri, istriku adalah sosok istri idaman bagiku. Aku begitu mencintainya sejak kunikahi dirinya. Dia begitu lembut, penyayang dan penuh perhatian padaku. Dia benar-benar wanita yang pandai mendampingiku. Dia tau apa yang harus dia lakukan saat aku senang pun di saat-saat susah sekalipun. Kala duka menderu, dia penyemangatku., tak jemu-jemu dialah orang pertama yang membuat aku tak pernah putus asa. Kala senang, ia selalu mengingatkanku untuk selalu menyisihkan kebahagiaan ini kepada kaum dhuafa. Pernah ia meminta agar dikala mampu sebaiknya walau sedikit kita harus semampunya memberi. Dengan kita memberi mungkin akan bermanfaat, jangan menunggu saat kita tak punya apa-apa lantas kita menyesal akan ketidak mampuan itu.

Kini aku malah tengah asyik bersama Aisyah. Membesarkannya sendiri adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Kini Aisyah telah berumur lima belas tahun. Sebuah waktu yang memberiku sebuah arti kesabaran bagi seorang aku yang ditinggalkan oleh istri. Aku begitu bangga padanya, karena kini ia menjadi wanita sholehah yang selalu menuruti setiap kata-kataku. Setiap langkahnya ada do'aku di sana. Do'a dari seorang ayah kepada anak yang begitu disayanginya.

Aku juga masih belum ingin mencari pengganti Mama untuk Aisyah. Tak ada yang mampu menggantikan posisi fitri bagiku. Mungkin karena aku begitu teramat mencintainya, rasanya enggan mencari pengganti fitri. Beberapa laki-laki sepertiku mungkin akan lebih memilih menikah. Tetapi tidak bagi diriku. Aku tak ingin menodai kebaikan dan ketulusan cinta yang telah terukir dari tangan istriku. Fitri, semoga kau menjadi bidadariku di Syurga.

Sunday, October 11, 2009

Apakah Buih-buih Hatiku Sedingin Hujan ?

Apakah Buih-buih Hatiku Sedingin HujanKumpulan Cerpen Siti Arofah. "Emak,..... dingin sekali Emak. Adi kedinginan Mak" berulang kali anakku mengeluh akan dinginnya siang ini, karena hujan telah mengguyur kota sepanjang dua hari dua malam ini. Tapi aku sama sekali tak bergeming, seakan keluhannya bagai hujan yang tengah membasahi bumi, ia akan berhenti dengan sendirinya. Sejenak mungkin aku tampak sebagai seorang ibu yang jahat pada anaknya, yang tega membiarkan buah hatinya terkungkung dalam dinginnya hujan.

Bukan tak ada rasa sayang lagi untuk anakku, getirnya hidup yang telah kami hadapi membuat kami harus bertahan hidup semampu kami. Suamiku yang mengais rupiah sebagai penjaja minuman gelas dari sebuah bis kota ke bis kota lainnya, tak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami yang tinggal di kota Jakarta dengan harga - harga kebutuhan pokok yang kian hari kian melambung. Situasi ini membuat kami harus hidup dengan seadanya. Pernah suatu ketika, aku sampai berpuasa , aku memilih mengalah kepada anakku, uang hasil jerih payah suamiku seharian dirampas preman tak dikenal. Bulir-bulir air mataku mengalir, namun seiring waktu tak ada kecengengan lagi. Inilah resiko hidup di ibukota dengan berbekal nekad.

Akhirnya kuputuskan untuk membantu suamiku. Di kala musim panas, aku membuat panganan Onde-Onde buatanku sendiri. Malam hari, di kala anakku tertidur lelap, aku menyiapkan mengolah Onde-Onde, agar paginya setelah sholat shubuh, Onde-Onde itu bisa langsung ku goreng dan tidak memerlukan waktu yang lama, sehingga para penjaja Onde itu bisa mengambil Onde-Onde buatanku lebih pagi. Cukup membuat lelah juga jika kuingat dalam semalam aku mampu membuat Onde sebanyak 3 baskom besar. Tapi semuanya kulakukan dengan hati yang ikhlas berharap meraih pahala. Mungkin karena inilah keringat yang menetes tak pernah menuai keluh setelah kukecup pipi anakku yang sedang tertidur pulas.

Sedangkan di musim hujan, aku tidak menjajakan Onde-Onde lagi. Aku memilih sebagai Peng-Ojeg payung, meminjamkan payung di jalan saat hujan. Kala di rumah, waktu istirahatku memang lebih menyisakan waktu lebih banyak. Namun, Adi, anakku lah yang harus membayar semuanya ini. Ia harus ikut denganku. Meski dingin , sesekali Adi yang dalam gendonganku tampak riang bermain-main dengan air yang terciprat ke tubuhnya. Namun tak jarang ia juga mengeluh dingin. Pelukanku rasanya tidak cukup baginya, mungkin karena tubuhku yang dingin mengikuti cuaca.

Sesekali kulihat sepasang manusia sedang di dalam mobil, anaknya yang sedang tertidur dipeluknya dalam pangkuan Mamanya. Kesejukan di dalam mobil itu mungkin tak sedingin apa yang kami rasakan di luar ini. Bahagia sekali mereka terlihat dalam wajah-wajah mereka yang dipenuhi sekuncup senyuman meski di luar tengah hujan tak mau berhenti. Kuciumi pipi anakku berkali-kali, berharap Adi juga mampu bahagia karena kecupanku. Untuk Sesaat kutangisi ketidak mampuanku ini, aku hanya mampu memberinya sebuah kecupan. Lamunanku buyar setelah kudapati bis berhenti tepat di depanku. Aku dan yang lainnya saling berebut pelanggan, menawarkan payung sekedar pelindung tubuh untuknya sesaat di tempat itu.

Jika kami telah tiba di rumah, buru-buru kubuatkan wedang jahe manis untuk aku, suamiku dan si kecil Adi, anakku. Kami semua rentan terhadap penyakit, terutama penyakit karena cuaca. Hanya kepasrahan terhadap Sang Illahi yang hanya kami mampu. " Yaa Tuhan, jangan kau beri nasib yang sama ini untuk anakku. "

Friday, October 9, 2009

Hikmah di Balik Gempa

Hikmah di Balik Gempa
Kumpulan Cerpen Siti Arofah . Masih ingat Ketika Gempa terjadi di Tasikmalaya ? Mungkin menyisakan banyak cerita di sebagian orang saat kejadian itu menimpa, khususnya yang berada di pulau Jawa. Ada yang menangis, karena takut tsunami terjadi. Ada yang berteriak histeris, bingung, tak tahu harus berbuat apa. Ada yang berlari berharap bisa keluar dari rumah. Ada yang saling berebut jalan di lorong-lorong tangga darurat.

Ada pula yang terjebak di dalam lift yang tiba-tiba saja berhenti di tengah jalan, pasrah akan ketentuan Sang Illahi sambil menangisi apa yang tengah terjadi pada dirinya.

Aku pribadi juga seperti manusia-manusia lainnya. AKu yang bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi barang-barang berukuran setinggi rumah, terbiasa jika setiap hari berteman dengan aneka getaran-getaran. Entah itu getarannya besar ataupun dalam skala kecil, semua itu karena mesin yang sedang jalan atau hasil produksi yang jatuh ketika hendak diangkut menuju ke suatu tempat. Tapi kala Gempa terjadi, Aku yang sedang bergumul dengan angka-angka di depan sebuah layar komputer, tiba-tiba saja terpaku sejenak, menunggu nunggu suara roll besar yang jatuh. Namun nyatanya suara itu tak datang juga. Hingga getaran itu berubah menjadi sebuah goyangan besar berkali-kali. Aku sempat berteriak, lalu bertakbir beberapa kali-kali. Seketika itu teman-teman berhamburan hendak keluar gedung dimana kami berada. Aku yang sedianya bekerja di lantai 2, mengikuti rangkaian teman-teman lainnya yang menuju ke arah tangga. Belum sempat aku menuruni tangga, getaran itu habis. Antara menuruti kemauanku untuk turun ke bawah atau tidak, aku benar-benar bingung saat itu. Getaran yang terjadi kala itu cukup hebat kurasakan untuk kali pertama ini membuat aku sedikit sakit kepala. Karena teman-teman banyak yang kembali lagi ke ruang kerjanya, juga demikian dengan aku.

Setibanya di meja kerja, kutelpon suamiku. Alhamdulillah, suamiku terhindar dari bahaya. Lantas kutelpon ke rumah, untuk mengetahui keadaan anak-anak di rumah. Mungkin Tuhan telah memberi cobaan Nya kepadaku untuk lebih bersabar dan bertawakkal. Buktinya sudah beberapa kali aku mencoba menelpon ke rumah, tetapi selalu dan selalu jawabannya tulalit. Benar-benar hatiku bagai terombang ambing tak menentu arah, saat itu pikiranku hanya satu, "bagaimana nasib anak-anakku di rumah ?" Akan sangat berdosanya aku yang tega meninggalkan mereka di saat-saat seperti ini. Yang aku syukuri kejadian ini, mendekati waktu pulang kerja. Sehingga waktuku untuk berperang melawan gundah gulana di hati tidak berselang lama. Beberapa rekan kerjaku juga sama, dia juga mengeluhkan perihal yang sama, tidak bisa contact ke rumah. Mungkin hanya berpasrah diri yang mampu terucap dalam lidah-lidah kami saat itu, hanya kepada Sang Illah lah kami semua tertuju.

Setibanya di rumah, kupeluk tubuh anak-anakku satu persatu. Alhamdulillah, Allah telah menjaga anak-anakku. Pun begitu juga dengan suamiku. Kami semua saling berpegangan seolah merayakan kebahagiaan kami yang tiada tara. Ya, gempa kali ini terasa begitu dasyat bagi kami, meski gempa ini tak seberapa dibanding dengan gempa di Padang yang baru saja terjadi.

Sunday, October 4, 2009

Sebuah Ancaman Membawa Luka

Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Aku terpaku sejenak setelah kudapati sebuah SMS dari wali kelas anakku. "Bu, minta tolong ditanyakan apakah Rafi tahu siapa yang mengambil uang milik Oya di mobil jemputan om Yos." Saat itu pikiranku melambung jauh dengan berbagai argumen tentang Rafi anakku. Jangan-jangan wali kelasku ini ingin memberi tahu aku, bahwa Rafi adalah pelaku yang mengambil uang Oya. Jantungku berlari kencang mengejar jawaban itu, tapi saat ini aku masih di kantor berkutat dengan angka-angka di depan layar monitor.

Jika aku telepon dari sini, mungkin tak akan puas aku mendapat jawaban dari anakku, sebab aku harus melihat mimik mukanya saat ia memberikan jawabannya padaku agar aku tahu apakah ia menjawabnya dengan jujur atau tidak. "Iya Bu, nanti akan saya tanyakan, tapi maaf, sekarang saya masih di kantor" begitulah balasan SMS yang aku kirim ke wali kelas anakku itu.

Jam empat sore telah tiba, berarti waktu pulang kerja telah tiba. Aku pulang dengan hati yang begitu berdebar-debar. Setibanya di rumah, kucoba menenangkan seluruh jiwa, kutata hati ini seapik mungkin. Aku berharap anakku benar-benar menjawab dengan penuh kejujuran. Karena suamiku telah tahu, ia nampak emosi. Aku menyadari jika ia akan marah jika mengetahui anaknya sebagai sang pencuri itu.

"Rafi, sini. Kamu ya yang ambil uang oya di mobil jemputan ?" mata suamiku tampak marah.

"Sabar Ayah, kalau mau bertanya kepada anak jangan dengan emosi, kita tidak akan mendapat jawaban yang puas "Buru-buru kutenangkan suamiku.

"Rafi,.... tadi di mobil jemputan ada apa ?" tanyaku dengan nada datar tanpa sebuah amarah.

Sesaat Rafi menggeleng-gelengkan kapalanya.

"Tadi ada yang kehilangan uang ya ? Apakah Rafi yang mengambilnya ?" tanyaku lebih dalam.

"Aku disuruh Dani, Ma. Kan waktu buku tabungan Oya nampak keluar dari tasnya, aku disuruh Dani mengambilnya. Kalau aku tidak mau, Dani mau kasih ulat ke dalam baju aku. Aku takut, Ma. Dulu Dani pernah berbuat seperti itu, Ma" Rafi tampak seperti sosok bocah kecil yang ketakutan.

"Bener nih yang kamu katakan ? Pembohong itu dosa besar dan akan mendapat siksaan di neraka lho " Aku mencoba berdalih.

"Iya Ma,... Alif lihat koq kalau aku disuruh Dani".

Seketika itu kutelpon wali kelas Rafi. Kujelaskan apa yang telah dikatakan Rafi kepadaku. Wali kelas itu tampak puas mendapat penjelasan dari aku. Ia lalu menjelaskan kepadaku, jika Dani memang telah disidang hari ini perihal kehilangan uang Oya. Wali kelas itu ingin mengetahui mengapa saat disidang nama Rafi disebut-sebut olehnya. Karena takut berprasangka, ia menanyakan kepadaku. Antara aku dan Bu Fitri, wali kelas anakku sama-sama terlihat senang meski kami terpisah oleh tempat dan hanya dihubungkan dengan sebuah seluler.

Alhamdulillah,... Degub jantungku kembali berangsur dalam alunan yang damai seiring rasa puji dan syukurku kepada Sang Illahi. Semoga Allah selalu menjaga semua anakku. Amiiin.

Thursday, October 1, 2009

Aku Telah Jatuh Cinta Untuk yang Kedua Kalinya

Aku Telah Jatuh Cinta Untuk yang Kedua KalinyaKumpulan Cerpen Siti Arofah. Rumput tetangga akan kelihatan nampak lebih hijau dibanding rumput sendiri. Beginilah kiasan yang pernah kudengar. Harusnya kubuang jauh-jauh pemikiran seperti ini. Namun tidak pada diriku yang terjadi sekarang ini. Aku benar-benar telah jatuh cinta lagi. Dan begitu jelinya aku, hingga istriku sama sekali tak mengetahui perselingkuhanku ini. Jujur, aku menyadari, aku telah menghianati cinta istriku yang begitu setia menjalani hidup bersamaku selama ini. Tapi, cinta itu aneh, ia tumbuh bergelora di cawan hatiku tanpa memperdulikan hati siapapun.

Kejadian ini terjadi kira-kira dua tahun belakangan ini. Entahlah, padahal antara aku dan dia telah sama-sama memiliki pasangan yang syah. Dan hebatnya lagi, masing-masing pasangan kami adalah orang yang baik, sabar dan tergolong setia menjalani biduk rumah tangga. Adalah hal yang bodoh, bila kami meninggalkan istriku. Syetan mana yang telah merasuk dalam jiwaku dan Riri, tetanggaku itu, hingga kami benar-benar saling berhati ganda.

Mungkin karena kondisi rumah kami yang tinggal di gang senggol yang sempit yang hanya mampu dilalui oleh kendaraan bermotor beroda dua inilah, kami secara tak sengaja beradu tatapan. Waktu itu, tatapan Riri tampak berbeda sekali dari biasanya, ia seperti sedang menggoda diriku. Entahlah, atau mungkin kala itu ada syetan laknat yang telah merasuki segala pikiran-pikiran kotorku hingga Riri tampak begitu cantik dan mempesona di depan bola mataku ini.

Pertama, kedua dan ketiga mungkin masih seperti hal yang wajar dalam benak selubung hatiku. Namun Riri semakin intens. Aku jadi tak kuat juga menahan gundah gulana di hati ini. Hatiku seperti merongrong aku untuk terbang mengikuti kemauannya, membalas Riri Si Penggoda itu. Kucing mana yang menolak jika di depannya terlihat sebuah ikan yang siap disantap ?

Akhirnya, kami diberi kesempatan untuk berdua tanpa ada seorangpun yang menemani kami. Aku mengungkapkan segala isi hatiku padanya. Bagai suara kicau burung yang saling bersautan, meski seperti tampak malu-malu, Riri menunduk untuk sementara waktu. Senyumnya yang khas menawan hatiku seolah pertanda hatinya juga sama seperti diriku. Tiba-tiba saja tetanggaku datang, hingga membuyarkan antara aku dan Riri. Untungnya, tetanggaku sama sekali tak mengira apa-apa tentang kami.

Ah,.... bodohnya aku mengapa bisa berhati dua dan menghianati istriku yang suci itu.

Wednesday, September 30, 2009

Asyik Browsing Internet

Asyik Browsing Internet
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Pagi ini, kepalaku serasa ingin pecah, sakit sekali rasanya. Kupaksakan berangkat kerja, karena kebetulan temanku tak masuk hari ini, tak ada rekan pengganti lagi selain diriku. Mau tak mau aku harus masuk kerja.

Kusesali diriku saat semalam tak tidur lebih dini. Aku malah asyik berkutat dengan CPU usang milikku, membenahi tulisan-tulisanku di internet atau sekedar browsing mencari kesenangan-kesenangan tertentu yang membuat rinduku sedikit terobati. Aku dan suamiku memang terbiasa browsing setelah anak-anak telah terlelap dalam dunia mimpi. Rupanya malam itu aku tegah dilanda mabuk online di dunia maya, hingga tanpa kusadari aku lupa melihat jam. Tau-tau jam sudah menunjuk di angka sebelas. Padahal saat jam 9 malam, biasanya aku sudah tertidur bersama anak-anakku.

Jam 4 pagi, alarm handphoneku berdering, suamiku membangunkan aku yang mecoba menutup mata kembali saat mendengar alarm itu, "Ma, bangun, katanya mau puasa syawal ?". Dengan terburu-buru, aku menyiapkan makan sahur buat aku dan suamiku. Daging bumbu sate yang tinggal ku goreng dan sayur sop brokoli yang hanya butuh beberapa menit kupanaskan. Karena mengejar waktu, kami makan sesegera mungkin. Alhamdulillah, semua rampung lima belas menit sebelum adzan shubuh berkumandang. Suamiku bisa bersiap-siap menuju ke masjid untuk sholat berjama'ah.

Sholat shubuh telah usai kukerjakan, tiba-tiba saja aku tergelitik untuk menghidupkan CPUku lagi. Belum puas rasanya semalam aku browsing. Aku ingin berlama-lama lagi di dunia maya itu. Tapi kurasakan air mataku merembes membasahi seluruh mataku. Untuk berkedip saja sakit rasanya. Rasa kantuk ini tak mau menuruti keinginanku. Akhirnya Aku mengalah dari rasa kantuk ini. Kurebahkan diriku di samping tubuh suamiku. Aku tertidur pulas.

Tapi jam enam pagi, aku harus menyiapkan anak sulungku berangkat ke sekolah. Meski dengan berjalan tergopoh-gopoh, aku bertahan. Kukumpulkan seluruh tenagaku. Setelah kumandikan Si sulung dan menyiapkan makan pagi dan siangnya, Aku tertidur kembali. Hingga tiba-tiba suamiku membangunkan aku untuk bersiap-siap berangkat kerja.

Di kantor, aku benar-benar sangat mengantuk. Rasanya mataku sulit untuk kubuka. Untungnya, bossku absen hari ini. Kalau tidak, aku pasti kena marah olehnya. Aku berhasil menahan kantuk hingga jam 12 siang saat istirahat tiba. Kala itu, kepalaku benar-benar sudah tak kuat lagi, seperti ingin pecah. Ingin sekali membenturkan kepala ini ke dinding, tapi pasti tak mungkin kulakukan. Untungnya OB kantorku yang perempuan, ia melihat wajahku yang tampak pucat seperti tak seperti biasanya. Setelah ia kuberitahu apa yang aku derita, dia langsung menawarkan aku untuk dipijitnya. Kuucap kata-kata hamdallah berulang kali, ada rizki dari Mu ya Allah, lewat tangan OB kantorku ini.

Punggungku dikeroknya, Merah sekali katanya. Sepertinya aku masuk angin. Setelah punggungku dikerok, OB itu memijit punggung dan kepalaku. Enak sekali pijitannya, kerasa banget bagiku. Hingga pusing itu hilang meski untuk sementara waktu. Setelah sholat dzuhur, aku kembali beraktifitas, membuat report yang sengaja tertunda karena rasa sakitku ini. Seharusnya aku beristirahat, tapi otakku berjalan terus untuk menyelesaikan report yang harus kutuntaskan hari ini. Sakit kepalaku kembali menari-nari. Tapi aku bertahan untuk mengerjakan sholat ashar. Jam empat sore adalah waktu yang tengah ku tunggu-tunggu, akhir dari aktifitas kerja. Aku berjalan menuju tempat parkir dengan langkah tertatih-tatih. Ada teman yang mencoba untuk membantu, namun kuabaikan.

Hingga saat suamiku datang menjemput aku, aku benar-benar sudah tak kuat lagi. Tenagaku rasanya telah terkuras, seperti seseorang yang tinggal jasadnya saja. Tubuhku seakan melayang, tubuhku bergetar hebat. Untuk berbicara sepatah katapun sangat sulit, kata-kataku lirih nyaris tak terdengar. Seperti ingin pingsan saja. "Ma, sabar ya. Pegangan yang kuat" suamiku mencoba menyupport aku, ia takut aku terjatuh jika pelukanku lemah.

Sesampainya di rumah, kujatuhkan tubuh ini di kasur. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku minta untuk diantar ke rumah sakit. "Ma,...tahan dulu yaa... Ini teh hangat, batalkan saja puasa kamu, nanti kalau memang ini belum berhasil, baru kita ke rumah sakit" suamiku menenangkanku. Akhirnya batal juga puasaku, padahal sudah jam lima sore, itu artinya satu jam lagi saat berbuka tiba. Tapi nyatanya aku sudah tak kuat lagi. Melihat televisi saja, aku tak kuat. Setelah kureguk teh manis hangat buatan suamiku, kondisiku berangsur-angsur pulih, tapi belum sepenuhnya pulih. Saat makan malam bersama, aku tak mampu melahap sesendokpun makanan yang sudah berada di piringku. Enggan sekali rasanya meski lauknya menawan hati, bawal bakar yang kubeli di rumah makan padang. Aku hanya mampu meminum obat tifus dan vitamin C yang aman bagi lambung. Jam sembilan malam, tubuhku semakin membaik. Kucoba meminum sereal instant. Menjelang tidur, kutangisi batalnya puasaku hari ini.

Sunday, September 20, 2009

Kumpulan Cerpen Siti Arofah . Suara beduq bertalu-talu, sambut menyambut mengumandangkan kalimat zikir kepada Sang Illahi. Gema kemenangan menghiasi di sana-sini seiring berakhirnya Ramadhan ini. Ada senyum kemenangan berharap meraup pahala dari Allah, Rab semesta alam. Ada tangis kerinduan akan bulan yang penuh pahala dan berkah ini.

Selamat hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Taqobbalallaahu Minna Waminkum

Ramadhan,... We miss You forever.




Thursday, September 17, 2009

Luka itu Meninggalkan Bekas

Luka itu Meninggalkan Bekas
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Pagi ini aku begitu terharu, suamiku memberi sebuah kecupan di pipiku. Setelah semalam tidurku tak pernah nyenyak.

Bulan menampakkan sinarnya secara penuh, aku menatapnya dengan berurai air mata. Malam itu begitu teramat panjang bagiku. Meski mataku kupaksakan untuk terpejam, tapi tetap saja aku tak bisa tidur. Hati ini seperti teriris-iris, bahkan kepalaku rasanya hampir pecah. Padahal masalahnya terlampau kecil, sebuah kata yang menyakitkan, yang datang dari suamiku sendiri.

Bagaimana mungkin aku sebagai istrinya sampai hati telah dicaci sebagai mahkluk yang paling hina di dunia ini. Aku benar-benar terluka, mengapa ia tak mau menjaga hati istrinya. Aku percaya, bila saja dengan orang lain, sudah pasti ia akan mampu menjaga hati orang lain. Sedang aku ? Aku ini adalah istrinya, teman yang akan menemani di sepanjang sisa hidupnya. Setiap luka sudah pasti akan meninggalkan sebuah bekas. Kenapa sampai hati ia mencaci aku seperti itu ? Pertanyaan ini menghiasi malam-malam tidurku.

Malam itu kususuri alam pikiranku untuk berkelana mencari jawaban. Jawaban yang selalu membuatku berkali-kali mengusap air mata yang tak sengaja mengalir begitu saja. Kenangan-kenangan masa lalu yang indah tanpa sengaja kembali kuingat dan terngiang-ngiang dalam otakku. Betapa kala itu terlihat indah tanpa tergores luka. Haruskah aku mengiba agar bisa kembali ke masa lalu itu ? Ah, gengsi ini rupanya masih menggelayut dalam angan-anganku. Buktinya, aku terasa enggan untuk melihat wajahnya. Tidurku masih membelakanginya. Hingga tak sadar aku tertidur juga pada akhirnya.

Beberapa kali aku terbangun. Malam itu aku begitu gelisah. Aku benar-benar tak mampu membohongi diriku sendiri yang seharusnya berduka. Tubuhku seolah tak rela jika aku mampu tertidur nyenyak. Setiap kali kata-kata yang menyakitkan itu hadir saat aku terhenyak dalam tidur. Meski kamarku sedingin AC yang kunyalakan, namun tidak dengan hatiku. Seharusnya kuikhlaskan kata-kata suamiku yang menyakitkan itu. Akupun tersadar akan kebodohanku. Segera kupejamkan mataku sambil berdo'a, semoga Tuhan memaafkan suamiku.

Adzan Shubuh berkumandang. Kami masih seperti seseorang yang tak pernah mengenal. Masing-masing saling tak bertegur sapa. Setiap Pandanganku kutundukkan. Enggan sekali rasanya aku melihat wajahnya. Meski demikian, kami masing-masing segera melaksanakan sholat shubuh. Suamiku ke masjid, sedang aku sholat di rumah. Karena rasa kantukku yang begitu dalam, akhirnya aku teruskan tidurku.

Baru saja aku membaringkan tubuhku dan menyelimuti diri dengan selimut tebalku, tiba-tiba saja suara pintu pagar berdesis keras, seperti sedang digeser. "Suamiku datang !" batinku. Buru-buru aku menarik selimut hingga menutupi mukaku. Ternyata aku masih enggan melihat suamiku. Padahal sungguh, keadaan seperti ini membuat aku sangat tak nyaman.

Dan tiba-tiba saja, suamiku memanggilku, "Ma..............Ma...... ." Kala itu aku sangat ketakutan sekali, bagai seorang yang hendak dieksekusi. Ada apa gerangan suamiku memanggilku di saat aku sedang tertidur. Pikiran-pikiran buruk itu mulai mempengaruhiku. Namun kegalauanku semalam sirna saat Aku tiba-tiba dikecupnya beberapa kali. "Maafkan aku, Ma !, Semalam aku benar-benar sedang bermasalah, Aku jadi emosi, akhirnya kamu yang jadi pelampiasan aku" Aku hanya terdiam kaku, tanpa ada sebuah kata apapun. Rasanya begitu kelu bibir ini lama mengatub. Meski aku memaafkannya, Lagi-lagi air mataku mengalir. Aku berusaha menghapus sebuah luka.

Wednesday, September 16, 2009

Tak Disangka

Tak Disangka
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Aku yang sedang asyik bermain game di HP milik temanku, tiba-tiba saja HP itu mengeluarkan suara musik, pertanda ada telepon masuk. Tanpa berpikir panjang, ku tekan tombol bergambar gagang telepon itu yang bercahaya hijau. Sudah pasti Si penelepon mencari pemilik telepon yang sedang aku pakai ini. Aku katakan bahwa temanku sedang ke kamar mandi. Penelepon itu seorang wanita, kata-katanya lembut membuai aku dalam sebuah lamunan, membayangkan dirinya bak seorang wanita ayu bertubuh langsing, putih dengan tinggi semampai. Lalu dengan secepat kilat teleponnya terputus begitu saja.

Kusudahi game di HP itu, aku betul-betul mabuk, kepalaku seolah terisi penuh oleh suara wanita misterius tadi. Tanganku dengan sigap mengambil sebuah pensil yang ada di meja temanku ini. Ku cari kembali nomor yang tadi menelpon HP temanku ini. Gotcha ! Berhasil,..... ! kucatat nomor itu dalam secarik kertas note dan kusimpan dalam dompet setelah sebelumnya kulipat menjadi 2 bagian. Temanku yang telah menyudahi mandinya bertanya kepadaku, "Apa tadi ada yang menelponku ?" Sambil mengangguk kuberikan HP ini padanya. Sambil memencet HPnya, dia tampak seperti biasa-biasa saja sambil berucap, "Oh si Febby, pasti dia mau tanya kakakku dech, dia kan sahabat banget dengan kakakku." Sikapku kali ini hanya biasa-biasa saja, seolah tak pernah terjadi apapun pada diriku. Padahal jantungku berdegub kencang seperti kereta api yang tak mau pernah berhenti. Sandiwara ini berhasil kubuat di depan temanku sendiri.

Setibanya aku di sebuah mess tempat dimana aku tinggal, suara wanita tadi mengisi kembali kepalaku. Entahlah, baru kali ini aku diliputi oleh bayang-bayang suara wanita tadi. Batin ini dibimbangi oleh sebuah keinginanan, menelponnya ! Akhirnya kuputuskan untuk menelponnya, daripada selalu dihantui oleh rasa penasaran yang kian membara. Saat aku menelponnya kukumpulkan segenap keberanianku. Kutata hati ini untuk merangkai kata yang tepat untuk dirinya. Ternyata gayungpun bersambut, wanita ini mau berkenalan denganku. Aku pura-pura belum mengetahui namanya. "Oh, namanya Febby ? Nama yang cantik ya ! kenalkan namaku Sudibyo, kamu bisa panggil aku Dibyo." Kata-kata yang kukeluarkan begitu hati-hati, hingga akhirnya kuketahui kalau dirinya masih berstatus single tanpa pacar.

Hari demi hari, bulan berganti bulan, dari telpon pertama berlanjut ke telepon berikutnya. Akupun jadi sering ber SMS ria dengannya. Terkadang, meski hanya sekedar say Hello, aku bisa tersenyum sendirian memandangi HPku, seperti layaknya kaum muda lainnya yang sedang jatuh cinta. Aku tau kalau dia empat tahun lebih tua dariku. Ku akui, dulu aku pernah berharap punya kekasih yang lebih muda dariku. Namun, entahlah, aku tak tau mengapa kali ini perbedaan umur yang begitu jauh enggan aku pikirkan. Ah, terlalu dini rasanya jika aku mengatakan aku telah jatuh cinta padanya. Bagaimana aku bisa benar-benar mencintainya, padahal aku belum pernah sekalipun bertemu dengan sosoknya. Bagaimana jika Febby yang selama ini kubayangkan sebagai wanita cantik nan ayu, berkulit putih dan bertubuh langsing, ternyata sangat jauh sekali dari kenyataannya.

Karena seringnya berkirim SMS, pertemanan ini kian hari semakin baik. Kami akhirnya sama-sama didera perasaan ingin bertemu. Pertemuan itu akhirnya terjadi juga. Dugaanku benar, Febby ternyata gadis yang ayu yang pernah aku impikan. Di sebuah tempat makan, saat awal pertemuan kami, aku menyatakan kata cinta padanya. Dia hanya tersenyum tanpa sebuah kata, seolah kharismanya membuat aku ingin lebih dari sekedar kata 'berteman'. Febby seperti membalas hasratku dengan sebuah senyum kecil yang tampak malu-malu.

Tuesday, September 8, 2009

Maafkan Aku Ayah

Maafkan Aku AyahKumpulan Cerpen Siti Arofah. Ayah, guratan-guratan itu kini semakin jelas tergambar pada wajah ayah. Rambut ayah kini bukan lagi memutih tapi telah berubah menjadi semu kecoklatan setelah sebelumnya rambut yang hitam itu memudar menjadi putih. Bila ayah memegang tanganku, akan terasa sekali genggamannya yang dulu kokoh, kini lambat laun semakin gentar. Belum lagi, deretan gigi-gigi ayah yang dulu masih tertata lengkap kini yang tersisa tinggal dua buah di depan. Gigi palsu yang telah pernah dipesan nyatanya tak nyaman dipakai ayah.
Apakah ini mengartikan jika usia ayah sudah tak muda lagi ? Pertanyaan ini membuat bulu-bulu kudukku berdiri kaku. Ketakutan ini menghantui diriku jika aku kehilangan sosoknya. Sosoknya begitu teramat aku cintai.

Saat Ayah katakan sakit reumathik dan asam urat yang telah lama ayah rasakan, hatiku terasa sesak rasanya ingin menangisi betapa bodohnya aku yang tak mampu menolong ayah. Mungkin sudah jutaan obat yang baginya sudah bosan mau tak mau harus ditelannya. Hanya do'a yang mampu kupanjatkan kepada sang Illahi, berharap ayah tak diberi sakit lagi.

Saat ayah sedang bercerita, dengan senyumku yang penuh kebahagiaan mataku tak pernah luput memandanginya . Entah itu cerita serius, atau sebuah gurauan yang membuat aku tertawa lepas bersama-sama dengannya. Bicaranya sungguh menyenangkan, dari yang sederhana hingga ke topik yang serius. Meski kini pendengarannya sudah tak sempurna lagi. Terkadang aku harus rela mengulangi kata-kataku hingga beberapa kali. Ada rasa bersalah jika tak sengaja aku berkata dengan suara yang agak keras karena pendengarannya yang tak seperti dulu lagi.

Betapa gembiranya aku saat berkunjung ke rumah orang tuaku. Momen itu yang telah kutunggu setiap bulan. Entah, kadang juga aku tak menemuinya untuk sekian waktu yang cukup lama, menunggu sirnanya atas kesibukanku. Meski terkadang lewat sebuah telepon aku berharap mereka merasakan kehadiranku, namun tetap saja kerinduan ini menari-nari dalam ruang lamunanku.

Kini ayah sudah memiliki enam orang cucu yang gagah maupun cantik. Di tengah keenam cucunya, ayah nampak sangat bahagia. Jika liburan sekolah tiba, ayah memaksa cucunya untuk menginap di rumahnya. Meski rumahnya tak seperti sebuah istana, cucu-cucunya tampak menikmati hangatnya kebersamaan itu. Mereka tampak riang bermain ke sana kemari, mendengarkan cerita sang Eyang, atau sesekali diajarkan pelajaran yang Eyang ingat.

Senyumnya yang tak seindah dulu membuatku ingin selalu memeluknya. Suaranya yang kini tak lantang lagi, seolah sebagai perlambang usia ayah sudah tak muda lagi. Jika saja aku mampu berada di sampingmu di sisa hidupmu. Maafkan aku ayah, atas ketidakmampuan anakmu ini untuk bersama menemani hari-hari mu !

Saturday, September 5, 2009

Separuh Ragaku Telah Pergi

Separuh Ragaku Telah PergiKumpulan Cerpen Siti Arofah. Setelah kami resmi berpisah, aku memulai hidup dengan lembaran baru tanpa Astri. Meski bagiku begitu terasa sangat sulit untuk melupakan Astri, aku mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya. Bayang-bayang itu dan kenangan manis waktu bersamanya tak mungkin aku lupakan begitu saja. Dia adalah wanita anggun nan cantik yang sosoknya begitu aku cintai sebelumnya. Namun semenjak peristiwa malam kelabu itu, aku seolah tertipu dari seorang wanita yang terbalut oleh kecantikan semata.

Pun dengan Suhendar, sahabatku. Tak kusangka ia sampai hati berbuat seperti itu. Ia yang sudah kuanggap sebagai saudaraku, ternyata tega membidik peluru dari belakangku. Bagaimana tidak ? kepercayaanku padanya selama ini berbuah dengan menyakitkan. Kamar kami yang kuanggap sebagai kamar paling teristimewa. Tak seharusnya mereka melakukannya di kamar istimewa ini. Entah sudah berapa kali mereka melakukan itu. Aku kembali terpuruk bila mengingat bayang-bayang masa lalu.

Kedua orang tua Astri nampaknya benar-benar dibuat malu karenanya. Nyatanya mereka tak pernah berkunjung ke rumahku. Hanya sebuah surat sebaagai sebuah permintaan maaf atas apa yang telah Astri lakukan. Mungkin Astri telah membeberkannya. Syukurlah jika demikian, aku merasa bukan di pihak yang salah.

Harusnya Astri bisa menerawang kepada kaum yang lemah. Begitu banyak istri-istri yang kehilangan sosok suaminya karena suaminya telah bermain api dengan wanita lain. Pastilah akan ada sakit dan terluka batinnnya jika hak istri tak terpenuhi karenanya. Mestinya Astri mau memahami diriku yang telah berusaha sekuat jiwa demi sebuah kata "keluarga". Entahlah, apakah Astri seolah dibutakan atas semua kebaikan-kebaikanku ? Aku berharap suatu saat kelak ia akan mampu melihat yang sesungguhnya dalam diriku.

Sudah jelas-jelas waktu yang selama ini telah aku korbankan adalah demi keluargaku di rumah. Tapi mengapa mereka seolah tak mau menghargai atas apa yang telah kulakukan selama ini ? Haruskah aku yang harus mengalah ? Ah,... seandainya saja waktu itu aku mengetahui lebih awal, mungkin aku bisa lebih menyayangi mereka, memperhatikannya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dan pernikahan ini mungkin masih bisa kupertahankan. Uang nyatanya bukan segalanya. Kenapa aku harus menyadarinya ketika semuanya telah terjadi.

Sebuah kata terlambat membuat aku kini lebih mampu mendekatkan diri kepada Sang Illahi. Kucurahkan segala isi hatiku kepada Nya. Jika segala gundah telah kuurai kepada Illahi , rasanya hatiku lebih tenang menjalani malam kesendiriannku. Tidur dengan diiringi mimpi yang indah adalah sebuah hadiah dari sang Illahi atas segala doa yang telah kupanjatkan. Harusnya kusyukuri kedekatanku dengan Illahi adalah hikmah dari apa yang telah aku alami.

Empat bulan kemudian, aku mendengar kabar jika Astri telah menikah. Ia menikah dengan Suhendar, sahabatku sendiri. Mereka ternyata meng-amin-i atas segala tindakan yang pernah mereka lakukan itu. Kabar ini sungguh membuatku terluka. Berkali-kali air mataku jatuh tak terbendung lagi olehku. Dadaku seakan tercabik-cabik oleh pisau tajam yang dihunuskan oleh tangan Astri dan Suhendar. Sakit sekali rasanya. Jantungku berdegub dengan ritme yang tak beraturan, seolah bersama-sama mengikuti kemarahanku. Haruskah aku mengikhlaskannya ? Rela atau tidak tetap jawabannya adalah harus kurelakan, meski semuanya dengan keterpaksaan. Kini aku sudah tak punya kuasa lagi atas diri Astri. Kupasrahkan segalanya pada Sang Illahi.

Untungnya Izal berhasil aku bawa. Astri memperbolehkan aku untuk merawat dan mengasuh Izal, buah cinta Aku dan Astri. Bersama Izal, aku mampu sedikit demi sedikit melupakan bayang-bayang itu. Meski separuh ragaku telah pergi, aku berharap mampu melalui semua ini dengan penuh rasa ikhlas.

Thursday, September 3, 2009

Cinta yang Tersia-sia

Cinta yang Tersia-sia
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Tiba-tiba saja aku kembali ke rumah tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada Astri, istriku. Tugas Dinas di luar daerah yang seharusnya masih dua hari lagi tidak aku ambil mengingat dua hari itu adalah jatah untuk plesiranku di sana. Aku memilih pulang karena rinduku pada anak dan istri tercinta sudah tak dapat terbendung lagi. Aku terlalu disibukkan oleh beberapa kegiatanku.
Di samping sebagai Direktur utama sebuah perusahaan yang baru beberapa tahun aku rintis, aku juga merupakan salah satu staff pengajar di sebuah Universitas, aku juga nyambi sebagai consultant di sebuah perusahaan milik orang. Akibatnya, waktuku sungguh-sungguh tersita karenanya. Terkadang aku pulang larut malam, hingga setibanya di rumah, istri dan buah hatiku telah tertidur nyenyak.

Dan ketika malam kedatanganku yang begitu mengejutkan ini, aku berusaha datang tanpa suara, tujuanku cuma satu, ingin membuat kejutan untuk istriku. Saat itu aku lewat pintu belakang. Setelah berhasil kulewati pintu belakang, lalu aku menuju kamar dan ku buka pintu kamarku. Seketika itu, mataku terbelalak. Aku begitu terhentak oleh pemandangan dua insan tanpa busana di atas ranjang kami. Setelah lampu kunyalakan, begitu jelas kedua manusia itu terlihat. Seseorang itu istriku sendiri, sedang sesosok satunya lagi adalah laki-laki yang telah lama aku kenal dan menjadi sahabatku, Suhendar.

Istriku yang berusaha membalut dirinya dengan sebuah selimut mencoba menghampiriku. Ia dengan air matanya mencoba memohon maaf padaku. Kupandangi dirinya tanpa sebuah kata apapun. Mulut ini rasanya kelu untuk berbicara. Darah dan nandi ku seakan melonjak-lonjak tiada menentu. Adrenalinku terpompa begitu cepat. Suhendarpun turut serta berdiri, setelah ia berhasil mengenakan pakaian dalamnya. Aku memegang bahunya sambil kupelototi wajahnya, kutunjukkan raut wajahku yang sedang marah padanya. Lalu, Aku pergi meninggalkan mereka. Pergi dengan sejuta perasaan kecewa.

Malam yang sunyi disertai oleh angin yang dingin dengan sebuah bulan yang enggan menampakkan cahayanya seolah menjadi saksi betapa aku sangat kecewa di hari ini. Kukendarai sebuah Kijang Innova milikku dengan hati penuh luka. Tak terasa air mata ini mengalir, menemani perjalananku yang entah aku belum menemukan kemana arah tujuanku. Yang aku tau, aku hanya ingin pergi jauh dari kedua manusia itu. Masih terlihat dalam bayanganku saat-saat pertama ketika aku melihat adegan yang tak terpuji itu. "Sungguh menjijikkan sekali !" batinku.

Di perjalanan itu tergambar flash back kehidupanku dulu saat-saat indah kala pertama bertemu dengan Astri. Dia begitu kukenal sebagai gadis yang supel, ramah dan baik hati. Setahun setelah aku mengenalnya, kuyakinkan diriku untuk menikahinya. Setahun kemudian, buah cinta kami lahir, menambah kebahagiaan kami berdua. Keadaan berubah setelah aku tiba-tiba di PHK karena perusahaanku terimbas oleh krisis global. berbekal dari uang pesangon PHK ini, aku mencoba membangun usaha kecil berbekal pengetahuanku. Usahaku nampaknya berhasil, nyatanya kian hari semakin maju dan berkembang. Saat itu aku ditawari oleh teman lamaku untuk mengajar di Universitas miliknya. Tawarannya aku terima. Jadilah aku sebagai manusia yang super sibuk. Ya ,... semuanya yang aku peroleh harus ada yang kukorbankan, waktuku bersama keluargaku. Aku seperti ini tak lain adalah untuk keluargaku juga, pikirku.

Tak bisa dipungkiri, dengan keadaanku yang seperti ini, membuat orang - orang yang berada di rumah merasa asing terhadapku. Terutama Astri, Meski ia masih mau melayaniku dengan membuatkan secangkir kopi susu dan setangkup roti di setiap pagi, namun ia selalu dingin bila menatapku. Tak pernah aku salahkan sikapnya demikian padaku. Aku juga mahfum jika ia merasa kecewa. Aku juga mampu merasakan apa yang ia rasakan. Kesepian nya tak bisa aku pungkiri. Mungkin inilah buahnya mengapa dia sampai berani berbuat nekad seperti itu.

Tiba-tiba saja naluriku menyuruhku untuk menuju ke rumah orang tua Astri. Setibanya di sana, nampak Ibu Astri sangat heran melihat kedatanganku yang malam-malam dan tanpa Astri atau Izal, anakku. Mukaku kutundukkan di hadapannya. "Ibu, maafkan saya yang tidak bisa menjaga Astri" kata-kataku begitu berat diiringi isak tangisku yang tak terperi. Bapak Astri membuka tirai pintu kamarnya. Sekonyong-konyong aku menghampirinya, "Pak, maafkan saya. Saya sudahi pernikahan saya dengan Astri". Lalu aku pergi dengan meninggalkan sejuta tanda tanya bagi kedua orang tua Astri. Aku berharap hanya Astrilah yang harus memberikan jawabannya.

Sunday, August 30, 2009

Lebaran yang Dirindukan

Lebaran yang Dirindukan
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Lebaran hampir tiba, moment paling indah yang dinantikan semua insan muslim di jagad bumi ini. Pada hari itu, kita saling bermaaf-maafan. Berkumpul bersama keluarga, entah itu bersama kedua orang tua atau sanak saudara, walau mungkin tuk sekedar melepas rindu semata. Ada begitu banyak air mata karenanya. Dan yang terpenting, kita semua pasti berharap amal ibadah kita diterima oleh Yang Kuasa.

Tak terkecuali pun dengan diriku. Akupun merindukan lebaran itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami selalu mengunjungi orang tua kami. Ya.... orang tuaku berada di Makasar, sedang aku saat ini tinggal dan bekerja di karawang, jawa barat. Sedang Istriku yang bekerja juga, orang tuanya berada di Medan. Karenanya, kami hanya mampu bertemu orang tua kami dua tahun sekali. Pada tahun pertama kami mengunjungi orang tua istri di Medan, sedang lebaran berikutnya, kami mengunjungi orang tuaku di Makasar. Begitulah seterusnya saling bergantian.

Untuk mengunjungi orang tuaku, kami terbiasa menggunakan jalur udara ketimbang jalur laut. Bagi kami dengan pesawat udara dapat mempersingkat waktu yang semestinya dapat kami gunakan untuk berlama-lama di tempat tujuan. Akibatnya, tidak sedikit kocek yang harus kami keluarkan jika hendak ke orang tua kami. Tunjangan hari raya kami berdua saja tak cukup, kami harus merelakan tabungan kami yang telah kami siapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Begitulah nasib para perantau lainnya. Bisa berkumpul dengan orang tua dan sanak saudara adalah imbalan yang tak ternilai harganya.

Kami biasa mengambil cuti selama sepuluh hari, agar di sana kami juga benar-benar bisa bersenang-senang. Oleh karenanya, Jatah cuti tahunan kami sengaja tak pernah diambil. Berhubung Nadia sulung kami sudah bersekolah, kami menyesuaikan harinya dengan libur di sekolah Nadia. Selama di perjalanan kami penuh riang dan suka cita, mungkin juga sebagai pelepas penat dari rutinitas yang telah kita lakoni sebelumnya.

Sesampainya di bandara, kami melihat salah satu famili kami melambai-lambai tangannya kepada kami. Kami diantar layaknya seorang raja. Sebuah arti dari tali persaudaraan, kami memang terbiasa dengan hidup saling menyayangi. Kami menikmati suasana selama di perjalanan itu. Tak ada sedikitpun yang luput dari pandanganku untuk melihat suasana di kampung halamanku. Tak ada perubahan yang menonjol, semuanya masih tampak seperti tahun-tahun sebelumnya.

Hingga sesampainya di rumah orang tuaku, begitu haru kami sama-sama saling berpelukan, melepas rindu yang teramat sangat. Ada bulir-bulir air mata kala itu. Terutama ibuku, ibukulah yang teramat sayang padaku, sebab aku satu-satunya anaknya yang pergi merantau, ke-empat adik-adikku semuanya tinggal di sini meski rumahnya terpisah dengan orang tuaku. Dikarenakan adikku yang paling kecil belum menikah, jadinya yang menemani kedua orang tuaku.

Kedua buah hati kami nampak sangat senang berada di kampung halamanku. Mereka tampak berlari-lari kesana kemari. Kadang memetik jambu yang ada di samping halaman rumah orang tuaku. Kamipun jadi ikut makan bersamanya. Tiba-tiba ibuku datang membawa sambal gula merah, sebagai pelengkap rujak. Aku merasakan belaian kasih sayang ibuku lagi yang telah lama ini. Malamnya, istriku membantu ibuku membuat ketupat dan lontong. Kami makan cotto makasar yang luar biasa enaknya bagi kami.

Bedug dan takbir bertalu-talu, malam itu tiada jemu berkali-kali mengumandangkan kalimat Allah. Tanda kemenangan telah tiba. Dan paginya kami sholat Ied bersama. Usai dari sholat Ied setibanya di rumah, kami saling meminta maaf. Begitu banyak dosa kami kepada orang tua kami. Sebagai orang tua, tentu akan selalu membuka pintu maaf kepada semua anak-anaknya. Selanjutnya, kami saling bermaaf-maafan kepada sanak famili dan para tetangga kami.

Hari kedua setelah lebaran kami pergi tamasya ke pantai kayangan. Untuk mengunjunginya kami naik perahu kecil dari pantai Losari. Suasana di pulau itu sungguh menyenangkan. Angin semilir kami rasakan begitu nyaman. Garis cakrawala dihiasi perahu-perahu kecil milik nelayan begitu indahnya. Meski hanya tiga jam berada di pulau itu, rasanya cukup memberikan kepuasan tersendiri bagi kami.

Akhirnya, hari terakhir kami datang juga. Hari yang kami enggan untuk bertemunya, sebab kami akan berpisah lagi untuk waktu yang cukup lama. Peluk erat serta ciuman dari kedua orang tuaku sebagai tanda perpisahan kami. Lagi-lagi aku tak kuasa menahan tangis, air mata ini rasanya enggan untuk bertahan. lambaian tangan dari para sanak famili dan kedua orang tuaku membayangi kepulanganku menuju ke tempat asal.

Friday, August 28, 2009

Siapa yang Salah ?

Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Langkahku ternyata salah. Kini aku bekerja sebagai buruh tidak tetap atau outsourching di salah satu perusahaan sebagai pengantar dokumen.

Sebelumnya aku adalah karyawan tetap di sebuah perusahaan yang cukup punya nama. Karierku di perusahaan itu tak pernah ada peningkatan. Mungkin hanya ada peningkatan secara masal tahunan dikarenakan adanya perubahan kenaikan UMR. Sepertinya apa yang aku dapat tak sesuai dengan pendidikan yang sudah aku tempuh. Mungkin karierku saat itu setara dengan karyawan tamatan SMA, padahal aku tamatan D3. Beberapa temanku masih mau bertahan dan tetap bekerja, namun tidak dengan diriku. Saat itu hutangku telah menumpuk, gaji yang diterima olehku nyatanya habis untuk membayar hutang. Praktis kami hidup seadanya, bahkan kami pernah makan hanya dengan nasi dan garam saja, sungguh-sungguh menyedihkan ! Yang lebih kasihan lagi adalah istriku, entah apa karena gizi yang kurang atau sisi kejiwaannya menghadapi hidup bersamaku hingga kandungannya gugur beberapa kali.

Jika ditilik ke belakang, mungkin semua ini buah dari semua kesalahan-kesalan kami. Kami terbiasa hidup serba ingin dipenuhi. Apapun yang kami inginkan maunya terpenuhi. Jika tak ada uang, Credit Card-pun beraksi. Apalagi terhadap handphone, jika ada handphone keluaran baru, kami langsung tergoda untuk segera membelinya. Akibatnya, handphone yang lama kami jual dengan harga yang sangat jatuh, padahal baru saja beberapa bulan yang lalu kami membelinya. Keadaan ini semakin parah saat aku berani mengambil pinjaman uang ke Bank. Jadilah, kami hidup tanpa ada uang. Jika ada teman yang berbaik hati meminjamkan uangnya kepada kami, kami bisa makan. Bila tak ada uang, istriku kutitipkan ke orang tuaku.

Bulan demi bulan berlalu, aku masih tetap bertahan, sedang istriku akhirnya memintaku agar aku mencari kerja di tempat yang lain yang lebih menjanjikan. Kupenuhi permintaan istriku. Aku mencoba melamar pekerjaan. Banyak sudah yang ditolak. Yang Terakhir aku diterima, akan tetapi di Semarang. Padahal saat ini kami berada di Tangerang. Istriku mengamini jika kami segera pindah ke Surabaya.

Aku segera meminta ijin pada perusahaan untuk pindah kerja. Prosesnya terbilang cepat, dalam waktu dua minggu ternyata aku sudah dinyatakan bukan karyawan lagi. Selama itu pula aku mengurus rumahku untuk dijual atau di over kredit, sebab rumah itu masih aku cicil tiap bulannya melalui KPR, uang yang kami terima dari hasil penjualan rumah itu kami gunakan untuk membayar beberapa hutang kami. Sesegera itu aku terbang ke Semarang. Malang tak pernah kuduga, ternyata sesampainya di sana, aku ditolak mentah-mentah. Posisi itu sudah diambil alih oleh seseorang. Aku pulang ke karawang dengan jalan tertatih-tatih. Begitu lunglai seluruh tulangku. Selama di perjalanan tak terasa air mata ini menetes satu per satu membasahi pipiku.

Sesampainya di rumah, kulihat wajah istriku. Rasanya aku tak tega membawa kabar buruk ini saat melihat senyumnya yang begitu cantik. Tapi, apa boleh buat, mau tak mau, aku harus memberitahukannya. Istriku langsung jatuh seketika setelah aku bercerita panjang lebar. "Ratih,.....Ratih,...... bangun ", pintaku sambil membopong tubuhnya yang kini tak gempal lagi. Kuletakkan tubuhnya di springbed kamarku, lalu kuoleskan minyak kayu putih di sekitar keningnya, kudekatkan minyak kayu putih ini di hidungnya.
"Mas,........... ?" Ratih mulai terbangun, ia tampak shock sekali. Ia hanya mampu menangis sesenggukan.
"Yang sabar ya Ma !" kupeluk tubuhnya dan ku usap pipinya, tak terasa air mataku jatuh kembali.

Esoknya, aku merasakan sebagai seorang pengangguran. Sangat tidak menyenangkan ! Terutama istriku, tak pernah kulihat senyumnya lagi, ia nampak segan menatapku. Aku tau, ia sangat kecewa dan bahkan mungkin ia terluka. Semua uang yang diterima saat aku keluar dari perusahaan yang lama telah habis untuk melunasi hutang-hutangku yang lalu. Aku mencoba menghubungi beberapa temanku, berharap ada yang mau menolong diriku.

Perjuanganku tidak sia-sia. Setelah sekian lama berkelana, akhirnya kutemukan pekerjaan yang baru. Aku ditolong oleh seorang teman. Meski kini statusku sebagai outsourching. Dengan gaji setengah dari yang pernah aku terima sebelumnya, harusnya aku mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan kepadaku ini.

Air Mata Aulia

Kumpulan Cerpen Siti Arofah . "Ada yang salah dalam keluargaku, Ra" kata-kata Aulia begitu mengejutkan aku. Kami yang telah lama pernah menjalin persahabatan akhirnya saling berangkulan. Tak terasa air mata Rara membasahi baju ku. Ku coba mengucap air matanya dengan tissue yang kuambil dari sebuah kotak tissue yang ada di dalam mobilku. Kami memang janjian untuk bertemu, meski pertemuan itu yang kami sempat hanya di dalam mobilku.

Dia yang dulu kukenal sebagai seorang yang periang, tiba-tiba saja mengubah pandanganku. Dulu kami sama-sama kuliah di sebuah Universitas di kelas yang sama. Kami masih sama-sama menjalin persahabatan saat kami telah tamat dari Universitas. Namun, seiring waktu aku tak pernah mendengar kabarnya lagi saat dia telah bekerja di kota lain. Dan kini, tiba-tiba dia datang kembali padaku, dengan sejuta tanda tanya yang ada pada dirinya.

"Ada apa Lia ?" Aku mencoba menenangkan hatinya.
"Aku bingung Ra, mau cerita dari mana ?" mungkin hatinya sudah mulai tenang setelah sedari tadi air matanya berjatuhan tak karuan.
"Aku kan sahabatmu, ceritakan saja padaku !" Aku berusaha semampu mungkin memberi semangatnya untuk bercerita padaku.

"Aku sudah menikah Ra, dan dari pernikahan itu, kami telah memiliki sepasang putra dan putri yang lucu-lucu. Keuangan kami juga terbilang cukup dan tidak kekurangan. Suamiku juga orang yang Taat pada agama, Ra. Mungkin sepintas, kami terlihat sebagai keluarga yang harmonis, tanpa adanya konflik. Entah, aku yang salah atau tidak, menurut ku begitu banyak sisi yang seharusnya kami benahi. Tapi aku tak kuasa mengutarakannya pada suamiku. Pertengkaran hebat yang pernah terjadi itu membuatku trauma untuk adu argumentasi lagi dengannya. Kini aku lebih memilih diam, menghabiskan air mata dalam setiap do'a-do'a ku." air mata Aulia jatuh lagi, membuat aku semakin iba mendengarnya.

"Sebetulnya ada apa, Lia ? Apa yang harus dibenahi ?" tanyaku seakan ingin berbagi.
"Suamiku belum lama sedang keranjingan internet, Ra." cuma itu kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Apa hubungannya ?" Aku mencoba bertanya untuk mengetahui lebih jelas lagi.

"Aku juga bingung, Ra. Apa aku salah meminta waktunya di rumah untuk kami ? Di saat dia hadir di rumah, sudah pasti anak-anak merindukan kasih sayang dan belaiannya. Sudah banyak kudengar pengakuan beberapa temanku, sebagai seorang ayah ia berusaha menyenangkan hati buah hatinya kala di rumah, katanya. Aku maklum, mungkin dia pasti lelah setelah seharian berada di kantor. Tapi, kalau memang dia lelah, mengapa setelah anak-anak telah tertidur di pembaringan dia malah memulai menyalakan CPUnya untuk browsing di dunia maya dengan alasan ingin mencari tambahan penghasilan.

Sering kali saat Si sulung ingin diantar ke belakang untuk buang air kecil, ayahnya malah menyentak keras "bikin capek orang tua aja !" Sungguh Ra, batinku seakan diiris-iris. Belum lagi, kata-kata ayahnya yang menurut aku tidak baik untuk psyicology seorang anak yang baru berusia tujuh tahun. Kadang Ayahnya memakai kata-kata yang menurutku tidak pantas untuk seorang bocah untuk hal-hal yang sifatnya tidak boleh dilakukan . Seingat aku, selama perjalanan hidupku bersama kedua orang tuaku dulu, mereka tak seperti itu mengajariku. Mereka berlemah lembut dalam kata-kata. Bukannkah Nabi juga dikenal sebagai orang yang berlemah lembut ?

Sedang si Bungsu, sekarang hobinya suka berteriak keras. Aku akui itu kesalahanku, kami pernah bertengkar di depan anak-anak. Seharusnya ini tak baik bagi anak-anak. Tapi apa boleh buat, kami sama-sama tak bisa meredam emosi, Ra.

Entah aku seorang yang egois atau tidak, aku merasa kesepian Ra. Manusiawi, bila aku juga butuh kehangatan kasih sayang, belaian dan pujian dari suaminya. Nyatanya, pujian itu mungkin sampai nanti akan jadi mimpi belaka buat diriku. Aku yakin, semua wanita akan senang bila dipuji, apalagi pujian itu datang dari mulut suaminya. Begitu mahal harga dari sebuah pujian untukku dari suamiku.

"Ada banyak asa yang ada dalam benakku, Ra. Aku ingin keluarga ku utuh bahagia, saling menyayangi. Tapi, lagilagi mulutku kelu untuk meminta semua itu di hadapan suamiku, Ra."

"Mungkin lebih baik, kamu berdoa ! Mungkin Allah akan membukan pintu agar suami mau ke jalan yang lebih baik " tak terasa air mataku jatuh juga mendengar Aulia bercerita panjang lebar. Aku mampu merasakan luka batinnya.

"Doakan ya, Ra. Aku juga minta doa darimu" Aulia tampak melebarkan mulutnya tanda tersenyum, meski tersenyum aku yakin masih ada guratan-guratan luka lainnya yang tak ia ucapkan di sini. "Eh, ini ada Dunkin Donat, ayo dimakan" suasana menjadi buyar setelah Aulia menawarkan donat yang telah dia belikan sebelumnya untuk ku.

Tuesday, August 25, 2009

Kepergian yang Mengejutkan

Kumpulan Cerpen Siti Arofah . Suamiku tiba-tiba pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Kejadian ini begitu mengejutkan aku. Bagaimana aku tak terkejut, tak ada tanda-tanda sakit yang begitu parah pada suamiku. Ia biasa nampak sehat seperti orang sehat lainnya. Setibanya di rumah kira-kira jam sebelas malam sepulang dari bekerja, ia langsung jatuh tersungkur di lantai. Aku yang kaget melihatnya, tak kuasa hingga menjerit-jerit berharap para tetanggaku memberi bantuan.

Syukurlah, para tetanggaku langsung berdatangan, sehingga suamiku cepat dibawa menuju ke rumah sakit terdekat. Namun, Tuhan jualah yang berkehendak, Jodoh, rizki dan maut adalah rahasia Illahi, meski pertolongan telah begitu cepat kami lakukan, suamiku ternyata sudah tak bernyawa lagi ketika berada di rumah sakit.

Dokter bilang suamiku terkena penyakit jantung dan darah tinggi. Tangisku meledak tak mampu lagi kuredam lagi, menangisi kepergian suamiku untuk selama-lamanya. Anak-anak kami pun demikian, mereka saling memeluk aku dengan isak tangis. Para tetangga kami yang sebelumnya hadir menolong suamiku mencoba untuk menghibur kami. Setelah suamiku sudah dimandikan dan dikafani, suamiku diboyong ke rumah malam itu juga. Aku terkagum-kagum akan kebaikan para tetanggaku di rumah, setibanya di rumah, ternyata rumahku telah berjajar kursi-kursi yang entah datangnya dari mana aku tak mengetahuinya. Rupanya para tetanggaku bergotong royong menyiapkan ini semua. Malam itu, meski gelap bertaburan bintang dengan angin yang dingin aku menunggu jasad suamiku dengan beberapa para tetanggaku yang ikut menemaniku.

Paginya, Seluruh kerabat ku dan kerabat suamiku datang. Mereka memelukku dengan tangis yang menambah aku semakin terluka. Setelah disholatkan, akhirnya suamiku dibawa ke pemakaman. Sebuah pemakaman umum dekat rumah dimana kami tinggal. Beberapa kali Cindy, sulung kami jatuh pingsan saat mengantar ayahnya untuk dimakamkan. Aku mencoba untuk tidak menangisi kepergian suamiku, namun nyatanya sia-sia. Sungguh begitu berat cobaan yang datang dengan mengejutkan ini bagiku. Sepulangnya di rumahpun kami langsung memeluk ketiga anakku. Rasanya teramat berat jika aku harus bertahan hidup bersama ketiga anak-anakku.

Baru aku sadar jika baru beberapa hari yang lalu aku berucap pada Bu joko Tetangga dekat sebelah rumahku, " Ya.... kalo bapaknya ga' ada, gimana saya nanti ya Bu ?" Ternyata kata-kataku itu pertanda firasat dari Yang Kuasa. Baru beberapa bulan yang lalu, suamiku berpindah profesi dari supir angkot menjadi penyewa angkot. Suamiku memiliki beberapa angkot untuk disewakan. Dari situlah kami bisa hidup serba berkecukupan. Kami memiliki mobil sedan untuk kami pribadi, agar lebih leluasa dan nyaman. Rumah kamipun baru selesai direnovasi. Cukup megah bagiku, mengingat sebelumnya kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang hanya memiliki dua kamar. Sedang saat ini, rumah kami yang telah direnovasi ini terdiri dari empat kamar yang luas berukuran 4 x 4 meter. Taman yang ada di belakang rumah, membuat kami seolah terbuai dalam gemercik air mancur. Kamipun jadi terhipnotis untuk betah tinggal di rumah.

Meski demikian, kadang aku merasa iba, jika semua yang kami nikmati ini adalah hasil kerja keras suamiku. Suamiku memang pekerja keras yang ulet. Sudah seringkali, suamiku selalu pulang saat larut malam, di kala anak-anak telah tertidur lelap. Aku lebih baik menunggunya dengan menahan rasa kantukku yang begitu hebat demi sebuah baktiku untuk suamiku. Meski tak kala suamiku tiba, aku rela jika ia tak mau makan hidayang yang telah aku masak. Daripada menahan lapar mungkin akan menimbulkan penyakit bagi suamiku. Setiap kedatangannya, ia hanya mandi dan setelah itu minum kopi dilanjutkan pergi ke peraduan bersenang-senang denganku. "Suami yang penuh dengan tanggung jawab" , batinku.

Sama sekali aku tak pernah ikut campur dalam bisnisnya. Jangankan ikut campur, mengetahuinya saja aku tidak tahu. Yang aku tahu, suamiku selalu mempercayakan aku akan semua hasil yang telah ia geluti saat ini. Ya,... aku cuma tau uangnya saja. Inilah sisi buruknya. Hingga setelah suamiku wafat, aku sama sekali blank untuk menggantikan posisi di bisnisnya. Melihat para supir angkot yang berparas tidak begitu ramah saja membuat nyaliku turun. Ada rasa takut berhadapan dengan supir-supir itu. Tapi, biar bagaimanapun kami harus melanjutkan hidup. Aku mencoba bertahan berharap aku bisa beradaptasi menganggantikan suamiku.

Thursday, August 13, 2009

Gila Facebook

Kumpulan Cerpen Kita , Siapa yang tidak tau akan Facebook ? Facebook rupanya sedang booming di jagad ini. Bagaimana tidak, bila kita menemui seorang teman lama atau mendapat kenalan baru, mereka tak pernah lupa menanyakan kepada kita "punya account facebook ga' ?". Kadang juga aku pernah menjumpai seseorang yang belum punya account facebook, hingga tiba-tiba aku meledeknya, "Hari gini.... ga' punya facebook ?" Jadilah kita pada akhirnya seperti terseret untuk mempunyai sebuah account di facebook.


Aku adalah salah satunya dari sekian banyak pengikut facebook. Awalnya, karena tiba-tiba aku bertemu dengan teman SMP ku dulu, aku jadi semakin tertarik pada facebook. Tapi untuk meng-add seorang friend, aku juga agak pilih-pilih. Aku harus mengetahui dirinya terlebih dahulu, misalkan apakah teman-temannya ada yang aku kenal atau tidak. Aku tidak berani asal accept orang yang meng-add aku sebagai friend. Sudah bukan rahasia lagi, bila di facebook terjadi banyak hal-hal yang kurang enak didengar. Oleh karenanya aku cukup berhati-hati. Foto yang aku pajang juga hanya beberapa. Pun mengenai statusku, ingin kurahasiakan semaksimal mungkin.

Ada beberapa teman-temanku yang selalu update statusnya. Apa saja, yang aku lihat selalu banyak yang mengomentari statusnya. Kadang, obrolan ibu-ibu mengenai anaknya. Kadang juga curahan hatinya karena masih menjomblo. Yang jelas, kita diberikan kebebasan mengungkapkan segala isi hati kita.

Mungkin aku menjadi ciut kala suatu saat kuketahui temanku telah memiliki beberapa perusahaan. Aku hanya mampu mengucap selamat pada dirinya. Di saat yang lain, aku mengetahui salah satu teman terbaikku dulu, nyatanya tidak sebaik nasibku, jodoh belum berpihak padanya dan penglihatannya semakin hari semakin berkurang. Ingin rasanya aku menghampirinya, memberi semangat hidup baginya ! Namun apa daya, waktu belum menyambangi diriku, aku selalu disibukkan oleh kedua anak-anakku. Dikala aku lama tidak online di facebook, teman-temanku sibuk mencariku. Facebook membuatku merasa berada dekat dengan teman-teman laluku. Tapi ini semakin menyiksaku. Dunia maya hanya mampu membuat angan-angan belaka.

Dengan semakin banyaknya teman yang aku peroleh di facebook, kamipun mengadakan beberapa kali pertemuan / Reuni. Sudah beberapa Reuni, tak satupun yang aku datangi. Padahal aku ingin sekali melihat bagaimana teman-temanku saat ini. Suamiku tak mengijinkan aku. Aku hanya diperbolehkan bertemu di dunia maya saja, di facebook. Mungkin suamiku takut bila nanti hatiku menjadi berubah padanya. Demi rasa sayangnya, aku dengan berat hati akhirnya harus memilih suamiku. Dilema ini membuatku menyelami kerinduan tiada bertepi.