Sunday, August 30, 2009

Lebaran yang Dirindukan

Lebaran yang Dirindukan
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Lebaran hampir tiba, moment paling indah yang dinantikan semua insan muslim di jagad bumi ini. Pada hari itu, kita saling bermaaf-maafan. Berkumpul bersama keluarga, entah itu bersama kedua orang tua atau sanak saudara, walau mungkin tuk sekedar melepas rindu semata. Ada begitu banyak air mata karenanya. Dan yang terpenting, kita semua pasti berharap amal ibadah kita diterima oleh Yang Kuasa.

Tak terkecuali pun dengan diriku. Akupun merindukan lebaran itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami selalu mengunjungi orang tua kami. Ya.... orang tuaku berada di Makasar, sedang aku saat ini tinggal dan bekerja di karawang, jawa barat. Sedang Istriku yang bekerja juga, orang tuanya berada di Medan. Karenanya, kami hanya mampu bertemu orang tua kami dua tahun sekali. Pada tahun pertama kami mengunjungi orang tua istri di Medan, sedang lebaran berikutnya, kami mengunjungi orang tuaku di Makasar. Begitulah seterusnya saling bergantian.

Untuk mengunjungi orang tuaku, kami terbiasa menggunakan jalur udara ketimbang jalur laut. Bagi kami dengan pesawat udara dapat mempersingkat waktu yang semestinya dapat kami gunakan untuk berlama-lama di tempat tujuan. Akibatnya, tidak sedikit kocek yang harus kami keluarkan jika hendak ke orang tua kami. Tunjangan hari raya kami berdua saja tak cukup, kami harus merelakan tabungan kami yang telah kami siapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Begitulah nasib para perantau lainnya. Bisa berkumpul dengan orang tua dan sanak saudara adalah imbalan yang tak ternilai harganya.

Kami biasa mengambil cuti selama sepuluh hari, agar di sana kami juga benar-benar bisa bersenang-senang. Oleh karenanya, Jatah cuti tahunan kami sengaja tak pernah diambil. Berhubung Nadia sulung kami sudah bersekolah, kami menyesuaikan harinya dengan libur di sekolah Nadia. Selama di perjalanan kami penuh riang dan suka cita, mungkin juga sebagai pelepas penat dari rutinitas yang telah kita lakoni sebelumnya.

Sesampainya di bandara, kami melihat salah satu famili kami melambai-lambai tangannya kepada kami. Kami diantar layaknya seorang raja. Sebuah arti dari tali persaudaraan, kami memang terbiasa dengan hidup saling menyayangi. Kami menikmati suasana selama di perjalanan itu. Tak ada sedikitpun yang luput dari pandanganku untuk melihat suasana di kampung halamanku. Tak ada perubahan yang menonjol, semuanya masih tampak seperti tahun-tahun sebelumnya.

Hingga sesampainya di rumah orang tuaku, begitu haru kami sama-sama saling berpelukan, melepas rindu yang teramat sangat. Ada bulir-bulir air mata kala itu. Terutama ibuku, ibukulah yang teramat sayang padaku, sebab aku satu-satunya anaknya yang pergi merantau, ke-empat adik-adikku semuanya tinggal di sini meski rumahnya terpisah dengan orang tuaku. Dikarenakan adikku yang paling kecil belum menikah, jadinya yang menemani kedua orang tuaku.

Kedua buah hati kami nampak sangat senang berada di kampung halamanku. Mereka tampak berlari-lari kesana kemari. Kadang memetik jambu yang ada di samping halaman rumah orang tuaku. Kamipun jadi ikut makan bersamanya. Tiba-tiba ibuku datang membawa sambal gula merah, sebagai pelengkap rujak. Aku merasakan belaian kasih sayang ibuku lagi yang telah lama ini. Malamnya, istriku membantu ibuku membuat ketupat dan lontong. Kami makan cotto makasar yang luar biasa enaknya bagi kami.

Bedug dan takbir bertalu-talu, malam itu tiada jemu berkali-kali mengumandangkan kalimat Allah. Tanda kemenangan telah tiba. Dan paginya kami sholat Ied bersama. Usai dari sholat Ied setibanya di rumah, kami saling meminta maaf. Begitu banyak dosa kami kepada orang tua kami. Sebagai orang tua, tentu akan selalu membuka pintu maaf kepada semua anak-anaknya. Selanjutnya, kami saling bermaaf-maafan kepada sanak famili dan para tetangga kami.

Hari kedua setelah lebaran kami pergi tamasya ke pantai kayangan. Untuk mengunjunginya kami naik perahu kecil dari pantai Losari. Suasana di pulau itu sungguh menyenangkan. Angin semilir kami rasakan begitu nyaman. Garis cakrawala dihiasi perahu-perahu kecil milik nelayan begitu indahnya. Meski hanya tiga jam berada di pulau itu, rasanya cukup memberikan kepuasan tersendiri bagi kami.

Akhirnya, hari terakhir kami datang juga. Hari yang kami enggan untuk bertemunya, sebab kami akan berpisah lagi untuk waktu yang cukup lama. Peluk erat serta ciuman dari kedua orang tuaku sebagai tanda perpisahan kami. Lagi-lagi aku tak kuasa menahan tangis, air mata ini rasanya enggan untuk bertahan. lambaian tangan dari para sanak famili dan kedua orang tuaku membayangi kepulanganku menuju ke tempat asal.

Friday, August 28, 2009

Siapa yang Salah ?

Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Langkahku ternyata salah. Kini aku bekerja sebagai buruh tidak tetap atau outsourching di salah satu perusahaan sebagai pengantar dokumen.

Sebelumnya aku adalah karyawan tetap di sebuah perusahaan yang cukup punya nama. Karierku di perusahaan itu tak pernah ada peningkatan. Mungkin hanya ada peningkatan secara masal tahunan dikarenakan adanya perubahan kenaikan UMR. Sepertinya apa yang aku dapat tak sesuai dengan pendidikan yang sudah aku tempuh. Mungkin karierku saat itu setara dengan karyawan tamatan SMA, padahal aku tamatan D3. Beberapa temanku masih mau bertahan dan tetap bekerja, namun tidak dengan diriku. Saat itu hutangku telah menumpuk, gaji yang diterima olehku nyatanya habis untuk membayar hutang. Praktis kami hidup seadanya, bahkan kami pernah makan hanya dengan nasi dan garam saja, sungguh-sungguh menyedihkan ! Yang lebih kasihan lagi adalah istriku, entah apa karena gizi yang kurang atau sisi kejiwaannya menghadapi hidup bersamaku hingga kandungannya gugur beberapa kali.

Jika ditilik ke belakang, mungkin semua ini buah dari semua kesalahan-kesalan kami. Kami terbiasa hidup serba ingin dipenuhi. Apapun yang kami inginkan maunya terpenuhi. Jika tak ada uang, Credit Card-pun beraksi. Apalagi terhadap handphone, jika ada handphone keluaran baru, kami langsung tergoda untuk segera membelinya. Akibatnya, handphone yang lama kami jual dengan harga yang sangat jatuh, padahal baru saja beberapa bulan yang lalu kami membelinya. Keadaan ini semakin parah saat aku berani mengambil pinjaman uang ke Bank. Jadilah, kami hidup tanpa ada uang. Jika ada teman yang berbaik hati meminjamkan uangnya kepada kami, kami bisa makan. Bila tak ada uang, istriku kutitipkan ke orang tuaku.

Bulan demi bulan berlalu, aku masih tetap bertahan, sedang istriku akhirnya memintaku agar aku mencari kerja di tempat yang lain yang lebih menjanjikan. Kupenuhi permintaan istriku. Aku mencoba melamar pekerjaan. Banyak sudah yang ditolak. Yang Terakhir aku diterima, akan tetapi di Semarang. Padahal saat ini kami berada di Tangerang. Istriku mengamini jika kami segera pindah ke Surabaya.

Aku segera meminta ijin pada perusahaan untuk pindah kerja. Prosesnya terbilang cepat, dalam waktu dua minggu ternyata aku sudah dinyatakan bukan karyawan lagi. Selama itu pula aku mengurus rumahku untuk dijual atau di over kredit, sebab rumah itu masih aku cicil tiap bulannya melalui KPR, uang yang kami terima dari hasil penjualan rumah itu kami gunakan untuk membayar beberapa hutang kami. Sesegera itu aku terbang ke Semarang. Malang tak pernah kuduga, ternyata sesampainya di sana, aku ditolak mentah-mentah. Posisi itu sudah diambil alih oleh seseorang. Aku pulang ke karawang dengan jalan tertatih-tatih. Begitu lunglai seluruh tulangku. Selama di perjalanan tak terasa air mata ini menetes satu per satu membasahi pipiku.

Sesampainya di rumah, kulihat wajah istriku. Rasanya aku tak tega membawa kabar buruk ini saat melihat senyumnya yang begitu cantik. Tapi, apa boleh buat, mau tak mau, aku harus memberitahukannya. Istriku langsung jatuh seketika setelah aku bercerita panjang lebar. "Ratih,.....Ratih,...... bangun ", pintaku sambil membopong tubuhnya yang kini tak gempal lagi. Kuletakkan tubuhnya di springbed kamarku, lalu kuoleskan minyak kayu putih di sekitar keningnya, kudekatkan minyak kayu putih ini di hidungnya.
"Mas,........... ?" Ratih mulai terbangun, ia tampak shock sekali. Ia hanya mampu menangis sesenggukan.
"Yang sabar ya Ma !" kupeluk tubuhnya dan ku usap pipinya, tak terasa air mataku jatuh kembali.

Esoknya, aku merasakan sebagai seorang pengangguran. Sangat tidak menyenangkan ! Terutama istriku, tak pernah kulihat senyumnya lagi, ia nampak segan menatapku. Aku tau, ia sangat kecewa dan bahkan mungkin ia terluka. Semua uang yang diterima saat aku keluar dari perusahaan yang lama telah habis untuk melunasi hutang-hutangku yang lalu. Aku mencoba menghubungi beberapa temanku, berharap ada yang mau menolong diriku.

Perjuanganku tidak sia-sia. Setelah sekian lama berkelana, akhirnya kutemukan pekerjaan yang baru. Aku ditolong oleh seorang teman. Meski kini statusku sebagai outsourching. Dengan gaji setengah dari yang pernah aku terima sebelumnya, harusnya aku mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan kepadaku ini.

Air Mata Aulia

Kumpulan Cerpen Siti Arofah . "Ada yang salah dalam keluargaku, Ra" kata-kata Aulia begitu mengejutkan aku. Kami yang telah lama pernah menjalin persahabatan akhirnya saling berangkulan. Tak terasa air mata Rara membasahi baju ku. Ku coba mengucap air matanya dengan tissue yang kuambil dari sebuah kotak tissue yang ada di dalam mobilku. Kami memang janjian untuk bertemu, meski pertemuan itu yang kami sempat hanya di dalam mobilku.

Dia yang dulu kukenal sebagai seorang yang periang, tiba-tiba saja mengubah pandanganku. Dulu kami sama-sama kuliah di sebuah Universitas di kelas yang sama. Kami masih sama-sama menjalin persahabatan saat kami telah tamat dari Universitas. Namun, seiring waktu aku tak pernah mendengar kabarnya lagi saat dia telah bekerja di kota lain. Dan kini, tiba-tiba dia datang kembali padaku, dengan sejuta tanda tanya yang ada pada dirinya.

"Ada apa Lia ?" Aku mencoba menenangkan hatinya.
"Aku bingung Ra, mau cerita dari mana ?" mungkin hatinya sudah mulai tenang setelah sedari tadi air matanya berjatuhan tak karuan.
"Aku kan sahabatmu, ceritakan saja padaku !" Aku berusaha semampu mungkin memberi semangatnya untuk bercerita padaku.

"Aku sudah menikah Ra, dan dari pernikahan itu, kami telah memiliki sepasang putra dan putri yang lucu-lucu. Keuangan kami juga terbilang cukup dan tidak kekurangan. Suamiku juga orang yang Taat pada agama, Ra. Mungkin sepintas, kami terlihat sebagai keluarga yang harmonis, tanpa adanya konflik. Entah, aku yang salah atau tidak, menurut ku begitu banyak sisi yang seharusnya kami benahi. Tapi aku tak kuasa mengutarakannya pada suamiku. Pertengkaran hebat yang pernah terjadi itu membuatku trauma untuk adu argumentasi lagi dengannya. Kini aku lebih memilih diam, menghabiskan air mata dalam setiap do'a-do'a ku." air mata Aulia jatuh lagi, membuat aku semakin iba mendengarnya.

"Sebetulnya ada apa, Lia ? Apa yang harus dibenahi ?" tanyaku seakan ingin berbagi.
"Suamiku belum lama sedang keranjingan internet, Ra." cuma itu kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Apa hubungannya ?" Aku mencoba bertanya untuk mengetahui lebih jelas lagi.

"Aku juga bingung, Ra. Apa aku salah meminta waktunya di rumah untuk kami ? Di saat dia hadir di rumah, sudah pasti anak-anak merindukan kasih sayang dan belaiannya. Sudah banyak kudengar pengakuan beberapa temanku, sebagai seorang ayah ia berusaha menyenangkan hati buah hatinya kala di rumah, katanya. Aku maklum, mungkin dia pasti lelah setelah seharian berada di kantor. Tapi, kalau memang dia lelah, mengapa setelah anak-anak telah tertidur di pembaringan dia malah memulai menyalakan CPUnya untuk browsing di dunia maya dengan alasan ingin mencari tambahan penghasilan.

Sering kali saat Si sulung ingin diantar ke belakang untuk buang air kecil, ayahnya malah menyentak keras "bikin capek orang tua aja !" Sungguh Ra, batinku seakan diiris-iris. Belum lagi, kata-kata ayahnya yang menurut aku tidak baik untuk psyicology seorang anak yang baru berusia tujuh tahun. Kadang Ayahnya memakai kata-kata yang menurutku tidak pantas untuk seorang bocah untuk hal-hal yang sifatnya tidak boleh dilakukan . Seingat aku, selama perjalanan hidupku bersama kedua orang tuaku dulu, mereka tak seperti itu mengajariku. Mereka berlemah lembut dalam kata-kata. Bukannkah Nabi juga dikenal sebagai orang yang berlemah lembut ?

Sedang si Bungsu, sekarang hobinya suka berteriak keras. Aku akui itu kesalahanku, kami pernah bertengkar di depan anak-anak. Seharusnya ini tak baik bagi anak-anak. Tapi apa boleh buat, kami sama-sama tak bisa meredam emosi, Ra.

Entah aku seorang yang egois atau tidak, aku merasa kesepian Ra. Manusiawi, bila aku juga butuh kehangatan kasih sayang, belaian dan pujian dari suaminya. Nyatanya, pujian itu mungkin sampai nanti akan jadi mimpi belaka buat diriku. Aku yakin, semua wanita akan senang bila dipuji, apalagi pujian itu datang dari mulut suaminya. Begitu mahal harga dari sebuah pujian untukku dari suamiku.

"Ada banyak asa yang ada dalam benakku, Ra. Aku ingin keluarga ku utuh bahagia, saling menyayangi. Tapi, lagilagi mulutku kelu untuk meminta semua itu di hadapan suamiku, Ra."

"Mungkin lebih baik, kamu berdoa ! Mungkin Allah akan membukan pintu agar suami mau ke jalan yang lebih baik " tak terasa air mataku jatuh juga mendengar Aulia bercerita panjang lebar. Aku mampu merasakan luka batinnya.

"Doakan ya, Ra. Aku juga minta doa darimu" Aulia tampak melebarkan mulutnya tanda tersenyum, meski tersenyum aku yakin masih ada guratan-guratan luka lainnya yang tak ia ucapkan di sini. "Eh, ini ada Dunkin Donat, ayo dimakan" suasana menjadi buyar setelah Aulia menawarkan donat yang telah dia belikan sebelumnya untuk ku.

Tuesday, August 25, 2009

Kepergian yang Mengejutkan

Kumpulan Cerpen Siti Arofah . Suamiku tiba-tiba pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Kejadian ini begitu mengejutkan aku. Bagaimana aku tak terkejut, tak ada tanda-tanda sakit yang begitu parah pada suamiku. Ia biasa nampak sehat seperti orang sehat lainnya. Setibanya di rumah kira-kira jam sebelas malam sepulang dari bekerja, ia langsung jatuh tersungkur di lantai. Aku yang kaget melihatnya, tak kuasa hingga menjerit-jerit berharap para tetanggaku memberi bantuan.

Syukurlah, para tetanggaku langsung berdatangan, sehingga suamiku cepat dibawa menuju ke rumah sakit terdekat. Namun, Tuhan jualah yang berkehendak, Jodoh, rizki dan maut adalah rahasia Illahi, meski pertolongan telah begitu cepat kami lakukan, suamiku ternyata sudah tak bernyawa lagi ketika berada di rumah sakit.

Dokter bilang suamiku terkena penyakit jantung dan darah tinggi. Tangisku meledak tak mampu lagi kuredam lagi, menangisi kepergian suamiku untuk selama-lamanya. Anak-anak kami pun demikian, mereka saling memeluk aku dengan isak tangis. Para tetangga kami yang sebelumnya hadir menolong suamiku mencoba untuk menghibur kami. Setelah suamiku sudah dimandikan dan dikafani, suamiku diboyong ke rumah malam itu juga. Aku terkagum-kagum akan kebaikan para tetanggaku di rumah, setibanya di rumah, ternyata rumahku telah berjajar kursi-kursi yang entah datangnya dari mana aku tak mengetahuinya. Rupanya para tetanggaku bergotong royong menyiapkan ini semua. Malam itu, meski gelap bertaburan bintang dengan angin yang dingin aku menunggu jasad suamiku dengan beberapa para tetanggaku yang ikut menemaniku.

Paginya, Seluruh kerabat ku dan kerabat suamiku datang. Mereka memelukku dengan tangis yang menambah aku semakin terluka. Setelah disholatkan, akhirnya suamiku dibawa ke pemakaman. Sebuah pemakaman umum dekat rumah dimana kami tinggal. Beberapa kali Cindy, sulung kami jatuh pingsan saat mengantar ayahnya untuk dimakamkan. Aku mencoba untuk tidak menangisi kepergian suamiku, namun nyatanya sia-sia. Sungguh begitu berat cobaan yang datang dengan mengejutkan ini bagiku. Sepulangnya di rumahpun kami langsung memeluk ketiga anakku. Rasanya teramat berat jika aku harus bertahan hidup bersama ketiga anak-anakku.

Baru aku sadar jika baru beberapa hari yang lalu aku berucap pada Bu joko Tetangga dekat sebelah rumahku, " Ya.... kalo bapaknya ga' ada, gimana saya nanti ya Bu ?" Ternyata kata-kataku itu pertanda firasat dari Yang Kuasa. Baru beberapa bulan yang lalu, suamiku berpindah profesi dari supir angkot menjadi penyewa angkot. Suamiku memiliki beberapa angkot untuk disewakan. Dari situlah kami bisa hidup serba berkecukupan. Kami memiliki mobil sedan untuk kami pribadi, agar lebih leluasa dan nyaman. Rumah kamipun baru selesai direnovasi. Cukup megah bagiku, mengingat sebelumnya kami tinggal di sebuah rumah kontrakan yang hanya memiliki dua kamar. Sedang saat ini, rumah kami yang telah direnovasi ini terdiri dari empat kamar yang luas berukuran 4 x 4 meter. Taman yang ada di belakang rumah, membuat kami seolah terbuai dalam gemercik air mancur. Kamipun jadi terhipnotis untuk betah tinggal di rumah.

Meski demikian, kadang aku merasa iba, jika semua yang kami nikmati ini adalah hasil kerja keras suamiku. Suamiku memang pekerja keras yang ulet. Sudah seringkali, suamiku selalu pulang saat larut malam, di kala anak-anak telah tertidur lelap. Aku lebih baik menunggunya dengan menahan rasa kantukku yang begitu hebat demi sebuah baktiku untuk suamiku. Meski tak kala suamiku tiba, aku rela jika ia tak mau makan hidayang yang telah aku masak. Daripada menahan lapar mungkin akan menimbulkan penyakit bagi suamiku. Setiap kedatangannya, ia hanya mandi dan setelah itu minum kopi dilanjutkan pergi ke peraduan bersenang-senang denganku. "Suami yang penuh dengan tanggung jawab" , batinku.

Sama sekali aku tak pernah ikut campur dalam bisnisnya. Jangankan ikut campur, mengetahuinya saja aku tidak tahu. Yang aku tahu, suamiku selalu mempercayakan aku akan semua hasil yang telah ia geluti saat ini. Ya,... aku cuma tau uangnya saja. Inilah sisi buruknya. Hingga setelah suamiku wafat, aku sama sekali blank untuk menggantikan posisi di bisnisnya. Melihat para supir angkot yang berparas tidak begitu ramah saja membuat nyaliku turun. Ada rasa takut berhadapan dengan supir-supir itu. Tapi, biar bagaimanapun kami harus melanjutkan hidup. Aku mencoba bertahan berharap aku bisa beradaptasi menganggantikan suamiku.

Thursday, August 13, 2009

Gila Facebook

Kumpulan Cerpen Kita , Siapa yang tidak tau akan Facebook ? Facebook rupanya sedang booming di jagad ini. Bagaimana tidak, bila kita menemui seorang teman lama atau mendapat kenalan baru, mereka tak pernah lupa menanyakan kepada kita "punya account facebook ga' ?". Kadang juga aku pernah menjumpai seseorang yang belum punya account facebook, hingga tiba-tiba aku meledeknya, "Hari gini.... ga' punya facebook ?" Jadilah kita pada akhirnya seperti terseret untuk mempunyai sebuah account di facebook.


Aku adalah salah satunya dari sekian banyak pengikut facebook. Awalnya, karena tiba-tiba aku bertemu dengan teman SMP ku dulu, aku jadi semakin tertarik pada facebook. Tapi untuk meng-add seorang friend, aku juga agak pilih-pilih. Aku harus mengetahui dirinya terlebih dahulu, misalkan apakah teman-temannya ada yang aku kenal atau tidak. Aku tidak berani asal accept orang yang meng-add aku sebagai friend. Sudah bukan rahasia lagi, bila di facebook terjadi banyak hal-hal yang kurang enak didengar. Oleh karenanya aku cukup berhati-hati. Foto yang aku pajang juga hanya beberapa. Pun mengenai statusku, ingin kurahasiakan semaksimal mungkin.

Ada beberapa teman-temanku yang selalu update statusnya. Apa saja, yang aku lihat selalu banyak yang mengomentari statusnya. Kadang, obrolan ibu-ibu mengenai anaknya. Kadang juga curahan hatinya karena masih menjomblo. Yang jelas, kita diberikan kebebasan mengungkapkan segala isi hati kita.

Mungkin aku menjadi ciut kala suatu saat kuketahui temanku telah memiliki beberapa perusahaan. Aku hanya mampu mengucap selamat pada dirinya. Di saat yang lain, aku mengetahui salah satu teman terbaikku dulu, nyatanya tidak sebaik nasibku, jodoh belum berpihak padanya dan penglihatannya semakin hari semakin berkurang. Ingin rasanya aku menghampirinya, memberi semangat hidup baginya ! Namun apa daya, waktu belum menyambangi diriku, aku selalu disibukkan oleh kedua anak-anakku. Dikala aku lama tidak online di facebook, teman-temanku sibuk mencariku. Facebook membuatku merasa berada dekat dengan teman-teman laluku. Tapi ini semakin menyiksaku. Dunia maya hanya mampu membuat angan-angan belaka.

Dengan semakin banyaknya teman yang aku peroleh di facebook, kamipun mengadakan beberapa kali pertemuan / Reuni. Sudah beberapa Reuni, tak satupun yang aku datangi. Padahal aku ingin sekali melihat bagaimana teman-temanku saat ini. Suamiku tak mengijinkan aku. Aku hanya diperbolehkan bertemu di dunia maya saja, di facebook. Mungkin suamiku takut bila nanti hatiku menjadi berubah padanya. Demi rasa sayangnya, aku dengan berat hati akhirnya harus memilih suamiku. Dilema ini membuatku menyelami kerinduan tiada bertepi.