Wednesday, September 30, 2009

Asyik Browsing Internet

Asyik Browsing Internet
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Pagi ini, kepalaku serasa ingin pecah, sakit sekali rasanya. Kupaksakan berangkat kerja, karena kebetulan temanku tak masuk hari ini, tak ada rekan pengganti lagi selain diriku. Mau tak mau aku harus masuk kerja.

Kusesali diriku saat semalam tak tidur lebih dini. Aku malah asyik berkutat dengan CPU usang milikku, membenahi tulisan-tulisanku di internet atau sekedar browsing mencari kesenangan-kesenangan tertentu yang membuat rinduku sedikit terobati. Aku dan suamiku memang terbiasa browsing setelah anak-anak telah terlelap dalam dunia mimpi. Rupanya malam itu aku tegah dilanda mabuk online di dunia maya, hingga tanpa kusadari aku lupa melihat jam. Tau-tau jam sudah menunjuk di angka sebelas. Padahal saat jam 9 malam, biasanya aku sudah tertidur bersama anak-anakku.

Jam 4 pagi, alarm handphoneku berdering, suamiku membangunkan aku yang mecoba menutup mata kembali saat mendengar alarm itu, "Ma, bangun, katanya mau puasa syawal ?". Dengan terburu-buru, aku menyiapkan makan sahur buat aku dan suamiku. Daging bumbu sate yang tinggal ku goreng dan sayur sop brokoli yang hanya butuh beberapa menit kupanaskan. Karena mengejar waktu, kami makan sesegera mungkin. Alhamdulillah, semua rampung lima belas menit sebelum adzan shubuh berkumandang. Suamiku bisa bersiap-siap menuju ke masjid untuk sholat berjama'ah.

Sholat shubuh telah usai kukerjakan, tiba-tiba saja aku tergelitik untuk menghidupkan CPUku lagi. Belum puas rasanya semalam aku browsing. Aku ingin berlama-lama lagi di dunia maya itu. Tapi kurasakan air mataku merembes membasahi seluruh mataku. Untuk berkedip saja sakit rasanya. Rasa kantuk ini tak mau menuruti keinginanku. Akhirnya Aku mengalah dari rasa kantuk ini. Kurebahkan diriku di samping tubuh suamiku. Aku tertidur pulas.

Tapi jam enam pagi, aku harus menyiapkan anak sulungku berangkat ke sekolah. Meski dengan berjalan tergopoh-gopoh, aku bertahan. Kukumpulkan seluruh tenagaku. Setelah kumandikan Si sulung dan menyiapkan makan pagi dan siangnya, Aku tertidur kembali. Hingga tiba-tiba suamiku membangunkan aku untuk bersiap-siap berangkat kerja.

Di kantor, aku benar-benar sangat mengantuk. Rasanya mataku sulit untuk kubuka. Untungnya, bossku absen hari ini. Kalau tidak, aku pasti kena marah olehnya. Aku berhasil menahan kantuk hingga jam 12 siang saat istirahat tiba. Kala itu, kepalaku benar-benar sudah tak kuat lagi, seperti ingin pecah. Ingin sekali membenturkan kepala ini ke dinding, tapi pasti tak mungkin kulakukan. Untungnya OB kantorku yang perempuan, ia melihat wajahku yang tampak pucat seperti tak seperti biasanya. Setelah ia kuberitahu apa yang aku derita, dia langsung menawarkan aku untuk dipijitnya. Kuucap kata-kata hamdallah berulang kali, ada rizki dari Mu ya Allah, lewat tangan OB kantorku ini.

Punggungku dikeroknya, Merah sekali katanya. Sepertinya aku masuk angin. Setelah punggungku dikerok, OB itu memijit punggung dan kepalaku. Enak sekali pijitannya, kerasa banget bagiku. Hingga pusing itu hilang meski untuk sementara waktu. Setelah sholat dzuhur, aku kembali beraktifitas, membuat report yang sengaja tertunda karena rasa sakitku ini. Seharusnya aku beristirahat, tapi otakku berjalan terus untuk menyelesaikan report yang harus kutuntaskan hari ini. Sakit kepalaku kembali menari-nari. Tapi aku bertahan untuk mengerjakan sholat ashar. Jam empat sore adalah waktu yang tengah ku tunggu-tunggu, akhir dari aktifitas kerja. Aku berjalan menuju tempat parkir dengan langkah tertatih-tatih. Ada teman yang mencoba untuk membantu, namun kuabaikan.

Hingga saat suamiku datang menjemput aku, aku benar-benar sudah tak kuat lagi. Tenagaku rasanya telah terkuras, seperti seseorang yang tinggal jasadnya saja. Tubuhku seakan melayang, tubuhku bergetar hebat. Untuk berbicara sepatah katapun sangat sulit, kata-kataku lirih nyaris tak terdengar. Seperti ingin pingsan saja. "Ma, sabar ya. Pegangan yang kuat" suamiku mencoba menyupport aku, ia takut aku terjatuh jika pelukanku lemah.

Sesampainya di rumah, kujatuhkan tubuh ini di kasur. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku minta untuk diantar ke rumah sakit. "Ma,...tahan dulu yaa... Ini teh hangat, batalkan saja puasa kamu, nanti kalau memang ini belum berhasil, baru kita ke rumah sakit" suamiku menenangkanku. Akhirnya batal juga puasaku, padahal sudah jam lima sore, itu artinya satu jam lagi saat berbuka tiba. Tapi nyatanya aku sudah tak kuat lagi. Melihat televisi saja, aku tak kuat. Setelah kureguk teh manis hangat buatan suamiku, kondisiku berangsur-angsur pulih, tapi belum sepenuhnya pulih. Saat makan malam bersama, aku tak mampu melahap sesendokpun makanan yang sudah berada di piringku. Enggan sekali rasanya meski lauknya menawan hati, bawal bakar yang kubeli di rumah makan padang. Aku hanya mampu meminum obat tifus dan vitamin C yang aman bagi lambung. Jam sembilan malam, tubuhku semakin membaik. Kucoba meminum sereal instant. Menjelang tidur, kutangisi batalnya puasaku hari ini.

Sunday, September 20, 2009

Kumpulan Cerpen Siti Arofah . Suara beduq bertalu-talu, sambut menyambut mengumandangkan kalimat zikir kepada Sang Illahi. Gema kemenangan menghiasi di sana-sini seiring berakhirnya Ramadhan ini. Ada senyum kemenangan berharap meraup pahala dari Allah, Rab semesta alam. Ada tangis kerinduan akan bulan yang penuh pahala dan berkah ini.

Selamat hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Taqobbalallaahu Minna Waminkum

Ramadhan,... We miss You forever.




Thursday, September 17, 2009

Luka itu Meninggalkan Bekas

Luka itu Meninggalkan Bekas
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Pagi ini aku begitu terharu, suamiku memberi sebuah kecupan di pipiku. Setelah semalam tidurku tak pernah nyenyak.

Bulan menampakkan sinarnya secara penuh, aku menatapnya dengan berurai air mata. Malam itu begitu teramat panjang bagiku. Meski mataku kupaksakan untuk terpejam, tapi tetap saja aku tak bisa tidur. Hati ini seperti teriris-iris, bahkan kepalaku rasanya hampir pecah. Padahal masalahnya terlampau kecil, sebuah kata yang menyakitkan, yang datang dari suamiku sendiri.

Bagaimana mungkin aku sebagai istrinya sampai hati telah dicaci sebagai mahkluk yang paling hina di dunia ini. Aku benar-benar terluka, mengapa ia tak mau menjaga hati istrinya. Aku percaya, bila saja dengan orang lain, sudah pasti ia akan mampu menjaga hati orang lain. Sedang aku ? Aku ini adalah istrinya, teman yang akan menemani di sepanjang sisa hidupnya. Setiap luka sudah pasti akan meninggalkan sebuah bekas. Kenapa sampai hati ia mencaci aku seperti itu ? Pertanyaan ini menghiasi malam-malam tidurku.

Malam itu kususuri alam pikiranku untuk berkelana mencari jawaban. Jawaban yang selalu membuatku berkali-kali mengusap air mata yang tak sengaja mengalir begitu saja. Kenangan-kenangan masa lalu yang indah tanpa sengaja kembali kuingat dan terngiang-ngiang dalam otakku. Betapa kala itu terlihat indah tanpa tergores luka. Haruskah aku mengiba agar bisa kembali ke masa lalu itu ? Ah, gengsi ini rupanya masih menggelayut dalam angan-anganku. Buktinya, aku terasa enggan untuk melihat wajahnya. Tidurku masih membelakanginya. Hingga tak sadar aku tertidur juga pada akhirnya.

Beberapa kali aku terbangun. Malam itu aku begitu gelisah. Aku benar-benar tak mampu membohongi diriku sendiri yang seharusnya berduka. Tubuhku seolah tak rela jika aku mampu tertidur nyenyak. Setiap kali kata-kata yang menyakitkan itu hadir saat aku terhenyak dalam tidur. Meski kamarku sedingin AC yang kunyalakan, namun tidak dengan hatiku. Seharusnya kuikhlaskan kata-kata suamiku yang menyakitkan itu. Akupun tersadar akan kebodohanku. Segera kupejamkan mataku sambil berdo'a, semoga Tuhan memaafkan suamiku.

Adzan Shubuh berkumandang. Kami masih seperti seseorang yang tak pernah mengenal. Masing-masing saling tak bertegur sapa. Setiap Pandanganku kutundukkan. Enggan sekali rasanya aku melihat wajahnya. Meski demikian, kami masing-masing segera melaksanakan sholat shubuh. Suamiku ke masjid, sedang aku sholat di rumah. Karena rasa kantukku yang begitu dalam, akhirnya aku teruskan tidurku.

Baru saja aku membaringkan tubuhku dan menyelimuti diri dengan selimut tebalku, tiba-tiba saja suara pintu pagar berdesis keras, seperti sedang digeser. "Suamiku datang !" batinku. Buru-buru aku menarik selimut hingga menutupi mukaku. Ternyata aku masih enggan melihat suamiku. Padahal sungguh, keadaan seperti ini membuat aku sangat tak nyaman.

Dan tiba-tiba saja, suamiku memanggilku, "Ma..............Ma...... ." Kala itu aku sangat ketakutan sekali, bagai seorang yang hendak dieksekusi. Ada apa gerangan suamiku memanggilku di saat aku sedang tertidur. Pikiran-pikiran buruk itu mulai mempengaruhiku. Namun kegalauanku semalam sirna saat Aku tiba-tiba dikecupnya beberapa kali. "Maafkan aku, Ma !, Semalam aku benar-benar sedang bermasalah, Aku jadi emosi, akhirnya kamu yang jadi pelampiasan aku" Aku hanya terdiam kaku, tanpa ada sebuah kata apapun. Rasanya begitu kelu bibir ini lama mengatub. Meski aku memaafkannya, Lagi-lagi air mataku mengalir. Aku berusaha menghapus sebuah luka.

Wednesday, September 16, 2009

Tak Disangka

Tak Disangka
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Aku yang sedang asyik bermain game di HP milik temanku, tiba-tiba saja HP itu mengeluarkan suara musik, pertanda ada telepon masuk. Tanpa berpikir panjang, ku tekan tombol bergambar gagang telepon itu yang bercahaya hijau. Sudah pasti Si penelepon mencari pemilik telepon yang sedang aku pakai ini. Aku katakan bahwa temanku sedang ke kamar mandi. Penelepon itu seorang wanita, kata-katanya lembut membuai aku dalam sebuah lamunan, membayangkan dirinya bak seorang wanita ayu bertubuh langsing, putih dengan tinggi semampai. Lalu dengan secepat kilat teleponnya terputus begitu saja.

Kusudahi game di HP itu, aku betul-betul mabuk, kepalaku seolah terisi penuh oleh suara wanita misterius tadi. Tanganku dengan sigap mengambil sebuah pensil yang ada di meja temanku ini. Ku cari kembali nomor yang tadi menelpon HP temanku ini. Gotcha ! Berhasil,..... ! kucatat nomor itu dalam secarik kertas note dan kusimpan dalam dompet setelah sebelumnya kulipat menjadi 2 bagian. Temanku yang telah menyudahi mandinya bertanya kepadaku, "Apa tadi ada yang menelponku ?" Sambil mengangguk kuberikan HP ini padanya. Sambil memencet HPnya, dia tampak seperti biasa-biasa saja sambil berucap, "Oh si Febby, pasti dia mau tanya kakakku dech, dia kan sahabat banget dengan kakakku." Sikapku kali ini hanya biasa-biasa saja, seolah tak pernah terjadi apapun pada diriku. Padahal jantungku berdegub kencang seperti kereta api yang tak mau pernah berhenti. Sandiwara ini berhasil kubuat di depan temanku sendiri.

Setibanya aku di sebuah mess tempat dimana aku tinggal, suara wanita tadi mengisi kembali kepalaku. Entahlah, baru kali ini aku diliputi oleh bayang-bayang suara wanita tadi. Batin ini dibimbangi oleh sebuah keinginanan, menelponnya ! Akhirnya kuputuskan untuk menelponnya, daripada selalu dihantui oleh rasa penasaran yang kian membara. Saat aku menelponnya kukumpulkan segenap keberanianku. Kutata hati ini untuk merangkai kata yang tepat untuk dirinya. Ternyata gayungpun bersambut, wanita ini mau berkenalan denganku. Aku pura-pura belum mengetahui namanya. "Oh, namanya Febby ? Nama yang cantik ya ! kenalkan namaku Sudibyo, kamu bisa panggil aku Dibyo." Kata-kata yang kukeluarkan begitu hati-hati, hingga akhirnya kuketahui kalau dirinya masih berstatus single tanpa pacar.

Hari demi hari, bulan berganti bulan, dari telpon pertama berlanjut ke telepon berikutnya. Akupun jadi sering ber SMS ria dengannya. Terkadang, meski hanya sekedar say Hello, aku bisa tersenyum sendirian memandangi HPku, seperti layaknya kaum muda lainnya yang sedang jatuh cinta. Aku tau kalau dia empat tahun lebih tua dariku. Ku akui, dulu aku pernah berharap punya kekasih yang lebih muda dariku. Namun, entahlah, aku tak tau mengapa kali ini perbedaan umur yang begitu jauh enggan aku pikirkan. Ah, terlalu dini rasanya jika aku mengatakan aku telah jatuh cinta padanya. Bagaimana aku bisa benar-benar mencintainya, padahal aku belum pernah sekalipun bertemu dengan sosoknya. Bagaimana jika Febby yang selama ini kubayangkan sebagai wanita cantik nan ayu, berkulit putih dan bertubuh langsing, ternyata sangat jauh sekali dari kenyataannya.

Karena seringnya berkirim SMS, pertemanan ini kian hari semakin baik. Kami akhirnya sama-sama didera perasaan ingin bertemu. Pertemuan itu akhirnya terjadi juga. Dugaanku benar, Febby ternyata gadis yang ayu yang pernah aku impikan. Di sebuah tempat makan, saat awal pertemuan kami, aku menyatakan kata cinta padanya. Dia hanya tersenyum tanpa sebuah kata, seolah kharismanya membuat aku ingin lebih dari sekedar kata 'berteman'. Febby seperti membalas hasratku dengan sebuah senyum kecil yang tampak malu-malu.

Tuesday, September 8, 2009

Maafkan Aku Ayah

Maafkan Aku AyahKumpulan Cerpen Siti Arofah. Ayah, guratan-guratan itu kini semakin jelas tergambar pada wajah ayah. Rambut ayah kini bukan lagi memutih tapi telah berubah menjadi semu kecoklatan setelah sebelumnya rambut yang hitam itu memudar menjadi putih. Bila ayah memegang tanganku, akan terasa sekali genggamannya yang dulu kokoh, kini lambat laun semakin gentar. Belum lagi, deretan gigi-gigi ayah yang dulu masih tertata lengkap kini yang tersisa tinggal dua buah di depan. Gigi palsu yang telah pernah dipesan nyatanya tak nyaman dipakai ayah.
Apakah ini mengartikan jika usia ayah sudah tak muda lagi ? Pertanyaan ini membuat bulu-bulu kudukku berdiri kaku. Ketakutan ini menghantui diriku jika aku kehilangan sosoknya. Sosoknya begitu teramat aku cintai.

Saat Ayah katakan sakit reumathik dan asam urat yang telah lama ayah rasakan, hatiku terasa sesak rasanya ingin menangisi betapa bodohnya aku yang tak mampu menolong ayah. Mungkin sudah jutaan obat yang baginya sudah bosan mau tak mau harus ditelannya. Hanya do'a yang mampu kupanjatkan kepada sang Illahi, berharap ayah tak diberi sakit lagi.

Saat ayah sedang bercerita, dengan senyumku yang penuh kebahagiaan mataku tak pernah luput memandanginya . Entah itu cerita serius, atau sebuah gurauan yang membuat aku tertawa lepas bersama-sama dengannya. Bicaranya sungguh menyenangkan, dari yang sederhana hingga ke topik yang serius. Meski kini pendengarannya sudah tak sempurna lagi. Terkadang aku harus rela mengulangi kata-kataku hingga beberapa kali. Ada rasa bersalah jika tak sengaja aku berkata dengan suara yang agak keras karena pendengarannya yang tak seperti dulu lagi.

Betapa gembiranya aku saat berkunjung ke rumah orang tuaku. Momen itu yang telah kutunggu setiap bulan. Entah, kadang juga aku tak menemuinya untuk sekian waktu yang cukup lama, menunggu sirnanya atas kesibukanku. Meski terkadang lewat sebuah telepon aku berharap mereka merasakan kehadiranku, namun tetap saja kerinduan ini menari-nari dalam ruang lamunanku.

Kini ayah sudah memiliki enam orang cucu yang gagah maupun cantik. Di tengah keenam cucunya, ayah nampak sangat bahagia. Jika liburan sekolah tiba, ayah memaksa cucunya untuk menginap di rumahnya. Meski rumahnya tak seperti sebuah istana, cucu-cucunya tampak menikmati hangatnya kebersamaan itu. Mereka tampak riang bermain ke sana kemari, mendengarkan cerita sang Eyang, atau sesekali diajarkan pelajaran yang Eyang ingat.

Senyumnya yang tak seindah dulu membuatku ingin selalu memeluknya. Suaranya yang kini tak lantang lagi, seolah sebagai perlambang usia ayah sudah tak muda lagi. Jika saja aku mampu berada di sampingmu di sisa hidupmu. Maafkan aku ayah, atas ketidakmampuan anakmu ini untuk bersama menemani hari-hari mu !

Saturday, September 5, 2009

Separuh Ragaku Telah Pergi

Separuh Ragaku Telah PergiKumpulan Cerpen Siti Arofah. Setelah kami resmi berpisah, aku memulai hidup dengan lembaran baru tanpa Astri. Meski bagiku begitu terasa sangat sulit untuk melupakan Astri, aku mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya. Bayang-bayang itu dan kenangan manis waktu bersamanya tak mungkin aku lupakan begitu saja. Dia adalah wanita anggun nan cantik yang sosoknya begitu aku cintai sebelumnya. Namun semenjak peristiwa malam kelabu itu, aku seolah tertipu dari seorang wanita yang terbalut oleh kecantikan semata.

Pun dengan Suhendar, sahabatku. Tak kusangka ia sampai hati berbuat seperti itu. Ia yang sudah kuanggap sebagai saudaraku, ternyata tega membidik peluru dari belakangku. Bagaimana tidak ? kepercayaanku padanya selama ini berbuah dengan menyakitkan. Kamar kami yang kuanggap sebagai kamar paling teristimewa. Tak seharusnya mereka melakukannya di kamar istimewa ini. Entah sudah berapa kali mereka melakukan itu. Aku kembali terpuruk bila mengingat bayang-bayang masa lalu.

Kedua orang tua Astri nampaknya benar-benar dibuat malu karenanya. Nyatanya mereka tak pernah berkunjung ke rumahku. Hanya sebuah surat sebaagai sebuah permintaan maaf atas apa yang telah Astri lakukan. Mungkin Astri telah membeberkannya. Syukurlah jika demikian, aku merasa bukan di pihak yang salah.

Harusnya Astri bisa menerawang kepada kaum yang lemah. Begitu banyak istri-istri yang kehilangan sosok suaminya karena suaminya telah bermain api dengan wanita lain. Pastilah akan ada sakit dan terluka batinnnya jika hak istri tak terpenuhi karenanya. Mestinya Astri mau memahami diriku yang telah berusaha sekuat jiwa demi sebuah kata "keluarga". Entahlah, apakah Astri seolah dibutakan atas semua kebaikan-kebaikanku ? Aku berharap suatu saat kelak ia akan mampu melihat yang sesungguhnya dalam diriku.

Sudah jelas-jelas waktu yang selama ini telah aku korbankan adalah demi keluargaku di rumah. Tapi mengapa mereka seolah tak mau menghargai atas apa yang telah kulakukan selama ini ? Haruskah aku yang harus mengalah ? Ah,... seandainya saja waktu itu aku mengetahui lebih awal, mungkin aku bisa lebih menyayangi mereka, memperhatikannya dengan sepenuh jiwa dan raga. Dan pernikahan ini mungkin masih bisa kupertahankan. Uang nyatanya bukan segalanya. Kenapa aku harus menyadarinya ketika semuanya telah terjadi.

Sebuah kata terlambat membuat aku kini lebih mampu mendekatkan diri kepada Sang Illahi. Kucurahkan segala isi hatiku kepada Nya. Jika segala gundah telah kuurai kepada Illahi , rasanya hatiku lebih tenang menjalani malam kesendiriannku. Tidur dengan diiringi mimpi yang indah adalah sebuah hadiah dari sang Illahi atas segala doa yang telah kupanjatkan. Harusnya kusyukuri kedekatanku dengan Illahi adalah hikmah dari apa yang telah aku alami.

Empat bulan kemudian, aku mendengar kabar jika Astri telah menikah. Ia menikah dengan Suhendar, sahabatku sendiri. Mereka ternyata meng-amin-i atas segala tindakan yang pernah mereka lakukan itu. Kabar ini sungguh membuatku terluka. Berkali-kali air mataku jatuh tak terbendung lagi olehku. Dadaku seakan tercabik-cabik oleh pisau tajam yang dihunuskan oleh tangan Astri dan Suhendar. Sakit sekali rasanya. Jantungku berdegub dengan ritme yang tak beraturan, seolah bersama-sama mengikuti kemarahanku. Haruskah aku mengikhlaskannya ? Rela atau tidak tetap jawabannya adalah harus kurelakan, meski semuanya dengan keterpaksaan. Kini aku sudah tak punya kuasa lagi atas diri Astri. Kupasrahkan segalanya pada Sang Illahi.

Untungnya Izal berhasil aku bawa. Astri memperbolehkan aku untuk merawat dan mengasuh Izal, buah cinta Aku dan Astri. Bersama Izal, aku mampu sedikit demi sedikit melupakan bayang-bayang itu. Meski separuh ragaku telah pergi, aku berharap mampu melalui semua ini dengan penuh rasa ikhlas.

Thursday, September 3, 2009

Cinta yang Tersia-sia

Cinta yang Tersia-sia
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Tiba-tiba saja aku kembali ke rumah tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada Astri, istriku. Tugas Dinas di luar daerah yang seharusnya masih dua hari lagi tidak aku ambil mengingat dua hari itu adalah jatah untuk plesiranku di sana. Aku memilih pulang karena rinduku pada anak dan istri tercinta sudah tak dapat terbendung lagi. Aku terlalu disibukkan oleh beberapa kegiatanku.
Di samping sebagai Direktur utama sebuah perusahaan yang baru beberapa tahun aku rintis, aku juga merupakan salah satu staff pengajar di sebuah Universitas, aku juga nyambi sebagai consultant di sebuah perusahaan milik orang. Akibatnya, waktuku sungguh-sungguh tersita karenanya. Terkadang aku pulang larut malam, hingga setibanya di rumah, istri dan buah hatiku telah tertidur nyenyak.

Dan ketika malam kedatanganku yang begitu mengejutkan ini, aku berusaha datang tanpa suara, tujuanku cuma satu, ingin membuat kejutan untuk istriku. Saat itu aku lewat pintu belakang. Setelah berhasil kulewati pintu belakang, lalu aku menuju kamar dan ku buka pintu kamarku. Seketika itu, mataku terbelalak. Aku begitu terhentak oleh pemandangan dua insan tanpa busana di atas ranjang kami. Setelah lampu kunyalakan, begitu jelas kedua manusia itu terlihat. Seseorang itu istriku sendiri, sedang sesosok satunya lagi adalah laki-laki yang telah lama aku kenal dan menjadi sahabatku, Suhendar.

Istriku yang berusaha membalut dirinya dengan sebuah selimut mencoba menghampiriku. Ia dengan air matanya mencoba memohon maaf padaku. Kupandangi dirinya tanpa sebuah kata apapun. Mulut ini rasanya kelu untuk berbicara. Darah dan nandi ku seakan melonjak-lonjak tiada menentu. Adrenalinku terpompa begitu cepat. Suhendarpun turut serta berdiri, setelah ia berhasil mengenakan pakaian dalamnya. Aku memegang bahunya sambil kupelototi wajahnya, kutunjukkan raut wajahku yang sedang marah padanya. Lalu, Aku pergi meninggalkan mereka. Pergi dengan sejuta perasaan kecewa.

Malam yang sunyi disertai oleh angin yang dingin dengan sebuah bulan yang enggan menampakkan cahayanya seolah menjadi saksi betapa aku sangat kecewa di hari ini. Kukendarai sebuah Kijang Innova milikku dengan hati penuh luka. Tak terasa air mata ini mengalir, menemani perjalananku yang entah aku belum menemukan kemana arah tujuanku. Yang aku tau, aku hanya ingin pergi jauh dari kedua manusia itu. Masih terlihat dalam bayanganku saat-saat pertama ketika aku melihat adegan yang tak terpuji itu. "Sungguh menjijikkan sekali !" batinku.

Di perjalanan itu tergambar flash back kehidupanku dulu saat-saat indah kala pertama bertemu dengan Astri. Dia begitu kukenal sebagai gadis yang supel, ramah dan baik hati. Setahun setelah aku mengenalnya, kuyakinkan diriku untuk menikahinya. Setahun kemudian, buah cinta kami lahir, menambah kebahagiaan kami berdua. Keadaan berubah setelah aku tiba-tiba di PHK karena perusahaanku terimbas oleh krisis global. berbekal dari uang pesangon PHK ini, aku mencoba membangun usaha kecil berbekal pengetahuanku. Usahaku nampaknya berhasil, nyatanya kian hari semakin maju dan berkembang. Saat itu aku ditawari oleh teman lamaku untuk mengajar di Universitas miliknya. Tawarannya aku terima. Jadilah aku sebagai manusia yang super sibuk. Ya ,... semuanya yang aku peroleh harus ada yang kukorbankan, waktuku bersama keluargaku. Aku seperti ini tak lain adalah untuk keluargaku juga, pikirku.

Tak bisa dipungkiri, dengan keadaanku yang seperti ini, membuat orang - orang yang berada di rumah merasa asing terhadapku. Terutama Astri, Meski ia masih mau melayaniku dengan membuatkan secangkir kopi susu dan setangkup roti di setiap pagi, namun ia selalu dingin bila menatapku. Tak pernah aku salahkan sikapnya demikian padaku. Aku juga mahfum jika ia merasa kecewa. Aku juga mampu merasakan apa yang ia rasakan. Kesepian nya tak bisa aku pungkiri. Mungkin inilah buahnya mengapa dia sampai berani berbuat nekad seperti itu.

Tiba-tiba saja naluriku menyuruhku untuk menuju ke rumah orang tua Astri. Setibanya di sana, nampak Ibu Astri sangat heran melihat kedatanganku yang malam-malam dan tanpa Astri atau Izal, anakku. Mukaku kutundukkan di hadapannya. "Ibu, maafkan saya yang tidak bisa menjaga Astri" kata-kataku begitu berat diiringi isak tangisku yang tak terperi. Bapak Astri membuka tirai pintu kamarnya. Sekonyong-konyong aku menghampirinya, "Pak, maafkan saya. Saya sudahi pernikahan saya dengan Astri". Lalu aku pergi dengan meninggalkan sejuta tanda tanya bagi kedua orang tua Astri. Aku berharap hanya Astrilah yang harus memberikan jawabannya.