Tuesday, August 27, 2024

Air Mata Indria, Seorang Istri yang Terpisah dari Ibunda Tercinta

Indria duduk di ruang tamu apartemennya dengan air mata yang tak henti mengalir. Ia baru saja mendapat kabar mengejutkan dari saudaranya di kampung halaman.

Indria (terisak): Tidak mungkin... Ibu... Ibu sudah tiada...

Suaminya, Andi, menghampiri Indria dengan raut wajah khawatir.

Andi: Sayang, ada apa? Kenapa kau menangis?

Indria (menoleh ke arah Andi): Andi... Ibu... Ibuku sudah meninggal...

Andi (terkejut): Apa?! Bagaimana mungkin? Kapan ini terjadi?

Indria (menghapus air matanya): Baru saja, saudaraku menelepon dan memberitahuku. Aku... aku tidak bisa pulang untuk melihatnya terakhir kali.

Andi (memeluk Indria): Sayang, maafkan aku. Aku tahu betapa berat ini bagimu.

Indria (terisak di pelukan Andi): Andi, aku rindu Ibu... Aku ingin melihatnya satu kali lagi. Tapi aku terjebak di sini, jauh dari kampung halamanku.

Andi (mengelus rambut Indria): Aku tahu, Indria. Aku tahu kau sangat menyayangi Ibu. Tapi kau harus kuat, sayang. Kita pasti akan menemukan cara untuk kau bisa pulang.

Indria (memandang Andi penuh harap): Benarkah, Andi? Aku benar-benar ingin melihat Ibu untuk terakhir kalinya.

Andi (menggenggam tangan Indria): Tentu saja, Indria. Aku akan mengurus segala sesuatunya agar kau bisa pulang secepatnya.

Indria (memeluk Andi erat): Terima kasih, Andi. Kau memang suami terbaik yang aku miliki.

Andi (mengusap punggung Indria): Aku akan selalu ada untukmu, Indria. Kita akan melewati ini bersama-sama.

Isak tangis Indria perlahan mereda, digantikan oleh kesungguhan untuk segera pulang dan mengucapkan selamat jalan pada ibunya yang tercinta. Andi akan melakukan segala upaya untuk memastikan Indria bisa kembali ke kampung halamannya.

Andi mengangguk mantap, lalu menatap Indria dengan penuh kepedulian.

Andi: Jangan khawatir, Indria. Aku akan mengurus semuanya agar kau bisa segera pulang.

Indria (menghapus air matanya): Tapi bagaimana caranya, Andi? Kita kan tidak punya banyak tabungan.

Andi (berpikir sejenak): Hmm, pertama-tama aku akan menghubungi maskapai penerbangan untuk memesan tiket pulang untukmu. Kita harus bertindak cepat agar kau bisa tiba di kampung halamanmu sebelum pemakaman.

Indria (menatap Andi penuh harap): Lalu bagaimana dengan biayanya, Andi? Aku tak ingin membebanimu.

Andi (menggenggam tangan Indria): Jangan pikirkan itu, sayang. Biar aku yang urus semuanya. Yang terpenting sekarang adalah kau bisa segera pulang.

Indria (mengangguk): Terima kasih, Andi. Aku benar-benar beruntung memilikimu.

Andi (tersenyum): Kau adalah segalanya bagiku, Indria. Aku akan memastikan kau tiba di kampung halamanmu secepatnya.

Andi segera menghubungi maskapai penerbangan dan memesan tiket untuk Indria. Ia juga menghubungi saudara-saudara Indria di kampung halamannya untuk memastikan Indria akan dijemput sesampainya di bandara.

Indria (menatap Andi dengan haru): Andi, aku tak tahu bagaimana caranya membalas semua ini.

Andi (memeluk Indria): Kau tidak perlu membalas apa-apa, sayang. Cukup kembalilah dengan selamat, itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Indria (mengangguk): Baiklah, aku akan segera bersiap-siap. Terima kasih untuk segalanya, Andi.

Andi (tersenyum): Sama-sama, Indria. Aku akan selalu ada untukmu.

Indria pun segera bersiap-siap untuk perjalanan pulangnya, ditemani oleh dukungan dan kasih sayang Andi yang setia mendampinginya.

Indria tiba di kampung halamannya dengan perasaan campur aduk. Air matanya mengalir deras saat melihat kerabat dan tetangga berkumpul di rumah duka. Ia bergegas menghampiri saudaranya.

Indria (terisak): Kakak, maafkan aku... Aku terlambat...

Saudara Indria (memeluk Indria): Adikku, jangan menyalahkan dirimu. Ibu pasti sudah memaafkanmu.

Indria (menangis): Tapi aku tidak bisa melihat Ibu untuk terakhir kalinya... Aku merindukannya...

Saudara Indria (menepuk punggung Indria): Kami semua merindukannya, Indria. Tapi Ibu pasti bahagia melihatmu kembali.

Indria (menoleh ke arah peti jenazah): Ibu... Maafkan aku...

Tiba-tiba, seorang pria paruh baya menghampiri Indria.

Paman Indria: Indria, nak... Akhirnya kau bisa pulang.

Indria (mendongak): Paman...

Paman Indria (memegang bahu Indria): Ibu selalu bertanya kapan kau akan pulang. Ia sangat merindukanmu.

Indria (terisak): Aku juga merindukannya, Paman... Sangat merindukannya...

Paman Indria (menghapus air mata Indria): Ibu pasti bahagia melihatmu di sini, Nak. Kemarilah, bersama-sama kita doakan Ibu.

Indria (mengangguk): Baik, Paman...

Mereka berdoa bersama, mengiringi kepergian Ibu Indria dengan doa dan tangisan penuh haru. Indria memeluk peti jenazah, menyalurkan segala kerinduan yang selama ini tertahan.

Indria (berbisik): Ibu... Maafkan aku... Aku menyayangimu...

Suasana haru menyelimuti rumah duka, seolah Ibu Indria dapat merasakan cinta dan kerinduan yang dipancarkan oleh anak-anaknya.

Seusai doa bersama, suasana di rumah duka masih terasa berat. Indria tak henti-hentinya menangis, melepaskan segala rindu dan penyesalannya atas kepergian sang Ibu. Saudara-saudaranya berusaha menghibur dan menenangkannya.

Saudara Indria (memeluk Indria): Sudahlah, Indria. Ibu pasti tidak ingin kau bersedih terus-menerus.

Indria (terisak): Tapi aku benar-benar merindukan Ibu, Kak. Aku ingin bisa menghabiskan waktu lebih lama dengannya.

Saudara Indria (mengelus rambut Indria): Kami semua merasakan hal yang sama. Tapi Ibu pasti bahagia kau bisa kembali sebelum kepergiannya.

Indria (mengangguk): Ya, kau benar. Aku hanya... Aku hanya ingin Ibu tahu betapa aku menyayanginya.

Paman Indria (menghampiri mereka): Indria, nak. Ibu pasti tahu itu. Ia selalu membanggakanmu, lho.

Indria (mendongak): Benarkah, Paman?

Paman Indria (tersenyum): Tentu saja. Ibu selalu bercerita tentangmu dan suamimu. Ia sangat bahagia kalian baik-baik saja dirantauan sana.

Indria (kembali terisak): Oh, Ibu... Aku juga sangat bahagia bisa hidup dengan Andi. Tapi aku lebih ingin bisa berada di sisi Ibu.

Saudara Indria (memeluk Indria): Kami mengerti perasaanmu, Adik. Tapi Ibu pasti tidak ingin kau bersedih terus-menerus. Ia ingin kau bahagia.

Indria (mengangguk): Kau benar, Kak. Aku harus kuat demi Ibu.

Paman Indria (menepuk bahu Indria): Itu baru namanya anak Ibu. Ibu pasti bangga melihatmu dari atas sana.

Indria (tersenyum lirih): Terima kasih, Paman. Aku akan berusaha tegar demi Ibu.

Suasana perlahan-lahan mulai membaik, meski kesedihan masih terpancar dari raut wajah Indria. Namun, ia tahu bahwa Ibunya tidak ingin melihatnya bersedih. Ia pun bertekad untuk tetap kuat dan menjalani hidup dengan bahagia, demi kenangan sang Ibu yang telah tiada.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....