Monday, September 9, 2024

Setia di Ujung Rindu

Deni adalah seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab. Kehidupan di kota kecilnya tidak selalu mudah, dan demi menafkahi istri dan anaknya, ia terpaksa menerima tawaran pekerjaan di luar kota. Meninggalkan rumah adalah keputusan yang sulit, tetapi Deni tahu bahwa itu adalah langkah terbaik untuk masa depan keluarganya.

“Jaga diri baik-baik, ya, Pa,” ucap Rina, istrinya, dengan mata berkaca-kaca saat Deni bersiap pergi. Anak mereka, Riko, masih terlalu kecil untuk mengerti, tetapi Deni bisa merasakan ketidakpastian di mata istrinya.

“Aku akan pulang secepatnya. Jangan khawatir,” Deni berjanji, mencium kening Rina dan Riko sebelum melangkah pergi.

Selama beberapa bulan di kota baru, Deni bekerja keras. Ia beradaptasi dengan lingkungan yang asing dan menjalani rutinitas tanpa Rina dan Riko di sampingnya. Meskipun kesibukan mengalihkan pikirannya, rasa rindu selalu menghantui malam-malamnya. Setiap kali mengirim pesan kepada Rina, ia merasakan betapa besar cintanya pada keluarganya.

“Rindu kamu semua. Bagaimana kabar Riko?” tulisnya dalam pesan singkat.

Rina membalas dengan foto Riko yang tengah bermain di taman, tertawa ceria. Deni tersenyum, tetapi hatinya terasa berat. Ia bertekad untuk tetap setia, meskipun godaan dan kesepian sering kali datang menghampiri.

Seiring waktu, Deni bertemu dengan rekan-rekan kerja yang ramah. Salah satu dari mereka, Lani, adalah seorang wanita yang ceria dan pandai bergaul. Mereka sering bekerja sama dalam proyek dan menghabiskan waktu di luar kantor. Lani selalu berusaha membuat suasana menyenangkan, tetapi Deni tetap menjaga jarak emosional.

“Deni, ayo kita makan siang bersama!” ajak Lani dengan senyuman.

Deni tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia selalu mengingat Rina dan Riko. “Maaf, saya sudah ada janji,” jawabnya, berusaha untuk tidak terpengaruh.

Di setiap malam, Deni menghabiskan waktu dengan menulis di jurnalnya. Ia mencurahkan rasa rindu dan harapannya untuk keluarga. Mimpinya adalah kembali ke rumah dan memberikan yang terbaik untuk mereka.

Suatu malam, saat menulis, Deni menerima telepon dari Rina. Suaranya yang lembut membuatnya merindukan rumah semakin dalam. “Pa, Riko bertanya kapan kamu pulang,” ucap Rina dengan suara pelan.

“Segera, sayang. Aku akan bekerja keras untuk kalian,” jawab Deni, berusaha menahan air mata.

Suatu malam, Deni menghadiri sebuah acara kantor. Lani berada di sana dan mengajak Deni untuk bersenang-senang. “Ayolah, Deni! Ini kesempatan untuk bersantai,” katanya.

Deni merasa tertekan. Ia ingin bersenang-senang, tetapi hatinya tetap kepada keluarganya. Ia menolak tawaran itu, menyadari bahwa kesetiaan adalah hal terpenting bagi dirinya.

“Maaf, Lani. Aku tidak bisa,” ujarnya tegas.

Setelah enam bulan bekerja keras, Deni akhirnya mendapatkan kesempatan untuk pulang. Ia sangat bersemangat untuk melihat Rina dan Riko. Saat tiba di rumah, Riko berlari menyambutnya dengan pelukan hangat, sementara Rina menatapnya dengan senyuman penuh kasih.

“Pa, aku merindukanmu!” seru Riko, dan Deni merasakan seluruh beban di hatinya terangkat.

Di malam harinya, Deni dan Rina berbicara panjang lebar. Rina menceritakan segala hal yang terjadi selama Deni pergi, dan Deni mendengar dengan penuh perhatian. Mereka saling bercerita tentang harapan dan impian yang ingin dicapai.

Setelah beberapa hari di rumah, Deni kembali ke kota tempat ia bekerja. Kali ini, ia merasa lebih kuat dan berkomitmen untuk tetap setia. Rina dan Riko adalah alasan utama ia berjuang, dan ia tidak ingin mengecewakan mereka.

Selama bekerja, Deni tetap menjaga jarak dari Lani. Ia berusaha untuk tidak terpengaruh, meskipun Lani terus berusaha mendekatinya. “Deni, kamu pasti merasa kesepian. Kita bisa saling menghibur,” tawar Lani.

“Terima kasih, Lani, tetapi aku sudah memiliki keluarga yang aku cintai,” jawab Deni dengan tegas.

Beberapa bulan kemudian, Rina mengirimkan pesan yang mengejutkan. “Pa, aku sakit. Aku merasa sangat lelah dan tidak bisa beraktivitas seperti biasa.”

Deni merasa cemas. Ia segera meminta cuti dan pulang ke rumah. Setibanya di rumah, ia menemukan Rina terbaring lemah. Deni merawatnya dengan penuh cinta dan perhatian, berusaha untuk membuatnya merasa nyaman.

“Jangan khawatir, Sayang. Aku di sini untukmu,” ucap Deni, menggenggam tangan Rina.

Setelah beberapa minggu perawatan, Rina perlahan-lahan pulih. Deni merasa bersyukur bahwa ia bisa ada di sampingnya selama masa sulit itu. Mereka berdua semakin dekat, dan Deni tahu bahwa kesetiaan dan cinta yang mereka miliki adalah hal terpenting dalam hidup mereka.

Rina tersenyum, “Aku tahu kamu berjuang keras untuk kita, Deni. Terima kasih telah setia.”

Deni membalas senyumnya. “Selama aku hidup, aku akan selalu mencintai dan menjaga kalian.”

Setelah kejadian itu, Deni semakin bersemangat untuk bekerja. Ia mendapatkan promosi dan kembali ke kota dengan lebih percaya diri. Kini, ia bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya.

Deni belajar bahwa kesetiaan adalah tentang komitmen dan cinta yang tulus. Ia tahu bahwa meskipun ada godaan dan tantangan, cinta untuk keluarganya adalah kekuatan terbesarnya.

Beberapa tahun berlalu, Deni terus bekerja keras dan membangun masa depan yang cerah untuk Rina dan Riko. Mereka hidup bahagia, saling mendukung dalam impian masing-masing. Deni tahu bahwa kesetiaan yang ia jaga adalah pondasi yang menguatkan keluarganya.

Di setiap langkah, Deni mengingat bahwa cinta sejati bukan hanya diucapkan, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan. Ia bertekad untuk selalu menjaga kesetiaan dan cinta untuk keluarganya, selamanya.

Seiring berjalannya waktu, Deni dan Rina semakin kuat sebagai pasangan. Mereka membesarkan Riko dengan penuh kasih sayang, dan Deni berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Namun, tantangan baru mulai muncul ketika Riko memasuki masa remaja.

Riko mulai menunjukkan sifat rebel dan sering berdebat dengan Deni. “Kenapa kamu selalu sibuk, Pa? Aku hanya ingin kamu ada di sini!” keluh Riko suatu malam.

Deni merasa terpukul. Ia tahu bahwa Riko merindukan kehadirannya, tetapi ia juga berjuang untuk menafkahi keluarga. “Riko, aku melakukan ini untuk kita. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu dan Ibu.”

“Kalau begitu, kenapa kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama? Aku butuhmu, Pa!” Riko menjawab dengan nada kecewa.

Rina menyaksikan ketegangan antara Deni dan Riko. Ia merasa khawatir dan mencoba mendamaikan keduanya. “Deni, mungkin kamu perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk Riko. Dia sedang dalam masa transisi yang sulit,” ucap Rina.

Deni mengangguk, tetapi ia merasa terjebak. Ia ingin memberikan perhatian lebih kepada Riko, tetapi tekanan pekerjaan sering kali menyita waktunya. “Aku akan mencoba, Rina. Aku berjanji,” katanya.

Namun, janji itu terasa berat di pundaknya. Deni mulai merasakan stres dan tekanan dari kedua sisi—pekerjaan dan keluarganya.

Suatu hari, Deni menerima undangan untuk menghadiri acara di sekolah Riko. Ia merasa ini adalah kesempatan yang baik untuk memperbaiki hubungan mereka. Dengan semangat, Deni berusaha mempersiapkan diri untuk acara tersebut.

Ketika ia tiba di sekolah, Deni melihat Riko tampil dalam pertunjukan seni. Riko terlihat percaya diri dan bahagia. Deni merasa bangga dan menyadari betapa pentingnya kehadirannya untuk anaknya.

Setelah pertunjukan, Deni mendekati Riko. “Kamu luar biasa, Riko! Aku sangat bangga padamu,” ungkap Deni dengan tulus.

Riko tersenyum, tetapi ada keraguan di matanya. “Terima kasih, Pa. Tapi aku ingin kita lebih sering bersama.”

Malam itu, Deni dan Rina berbicara tentang Riko. “Aku harus lebih banyak meluangkan waktu untuknya, Rina. Aku tidak ingin kehilangan hubungan ini,” kata Deni dengan tegas.

Rina mengangguk. “Kita bisa merencanakan akhir pekan bersama. Mungkin pergi ke tempat yang Riko suka? Ini bisa membantu mendekatkan kalian,” sarannya.

Deni setuju, dan mereka mulai merencanakan akhir pekan keluarga. Deni merasa semangat untuk memperbaiki hubungan dengan Riko, dan ia bertekad untuk membuat perubahan.

Akhir pekan tiba, dan Deni mengajak Riko dan Rina ke taman hiburan. Riko sangat antusias, dan Deni merasa bahagia melihat senyum di wajah anaknya. Mereka bermain bersama, berteriak di wahana, dan menghabiskan waktu berkualitas.

Selama perjalanan pulang, Riko tampak lebih ceria. “Terima kasih, Pa. Ini adalah hari terbaikku!” ucap Riko dengan senyum lebar.

Deni merasa lega. “Aku senang kamu senang, Riko. Kita harus melakukannya lagi.”

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Deni menerima kabar bahwa perusahaan tempat ia bekerja mengalami kesulitan finansial. Mereka harus melakukan pemotongan karyawan, dan Deni mulai merasa cemas.

Ketika Deni pulang, ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Rina melihat perubahan pada wajahnya. “Ada apa, Deni?” tanyanya dengan khawatir.

“Aku mungkin harus mencari pekerjaan baru. Perusahaan sedang dalam masalah,” jawab Deni dengan suara berat.

Rina menggenggam tangan Deni. “Kita akan melewati ini bersama. Aku percaya padamu.”

Deni mulai mencari pekerjaan baru, tetapi persaingan sangat ketat. Ia merasa tertekan dan khawatir akan masa depan keluarganya. Di tengah semua itu, komunikasi dengan Riko kembali menurun. Riko merasa Deni semakin jarang ada untuknya, dan hal ini membuatnya frustrasi.

“Pa, kamu tidak pernah ada di rumah lagi! Apa kamu lebih memilih pekerjaan daripada keluarga?” Riko meluapkan emosinya.

Deni merasa dihantam badai. “Tidak, Riko! Aku berjuang untuk kita! Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu!”

Rina mencoba mendamaikan keduanya, tetapi Deni merasa semakin terasing. Ia berjuang menghadapi tekanan pekerjaan dan hubungan yang memburuk dengan anaknya.

Suatu malam, Deni duduk sendiri di teras, merenungkan semuanya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada pekerjaan dan melupakan hal yang paling penting—keluarganya. Ia tidak ingin kehilangan Riko dan Rina.

Keesokan harinya, Deni memutuskan untuk berbicara dengan Riko. Ia mengajak anaknya duduk bersama. “Riko, aku minta maaf jika aku membuatmu merasa diabaikan. Aku berjuang untuk kita, tetapi aku mengerti jika kamu merasa kesepian.”

Riko menatap ayahnya, matanya berkaca-kaca. “Aku hanya ingin kamu ada untukku, Pa. Aku merindukan waktu kita bersama.”

Deni menyadari bahwa ia harus menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Ia berjanji kepada Riko untuk lebih meluangkan waktu dan tidak membiarkan pekerjaan menguasai segalanya.

“Mulai sekarang, setiap akhir pekan adalah waktu kita. Kita akan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama,” ucap Deni. Riko tersenyum, merasa lebih baik.

Deni juga mulai mencari cara untuk mengatasi stres di tempat kerja. Ia berbicara dengan atasannya dan meminta bantuan, serta mulai menjalani rutinitas yang lebih sehat.

Beberapa bulan kemudian, Deni berhasil mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik. Ia merasa lebih seimbang dan bahagia. Hubungannya dengan Riko dan Rina semakin erat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, tertawa dan berbagi cerita.

Deni belajar bahwa kesuksesan tidak hanya diukur dari pekerjaan, tetapi juga dari hubungan yang kuat dengan orang-orang terkasih. Ia bertekad untuk terus menjaga kesetiaan dan cinta untuk keluarganya.

Setiap hari, Deni bersyukur atas kesempatan untuk bersama Rina dan Riko. Cinta mereka semakin tumbuh, dan Deni tahu bahwa ia akan selalu berjuang untuk keluarga yang dicintainya. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....