Tuesday, October 29, 2024

Tukang Becak Yang Sudah Tua

Tukang Becak Yang Sudah Tua
Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisah  Seorang Tukang Beca Yang Hidup Dalam Keterbatasan, dari cerita-cerita pelanggan setianya hingga kehidupan pribadinya yang penuh warna, kisah tukang beca ini akan membuatmu merenungkan arti kehidupan yang sesungguhnya.

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, suara klakson kendaraan yang bersahut-sahutan, bau asap knalpot, dan derap langkah kaki manusia yang tiada habisnya, ada seorang pria tua yang sabar menanti rezekinya. Namanya Pak Darma, seorang tukang beca yang sudah belasan tahun mengayuh di jalan-jalan ibu kota. Umurnya sudah mendekati kepala enam, tapi tubuhnya yang ringkih terus ia paksa untuk mengayuh, karena baginya, beca ini bukan sekadar kendaraan, tapi nyawa yang menghidupkan dapurnya setiap hari.

Pagi itu, seperti biasa, Pak Darma duduk di atas becanya yang dicat merah pudar, menanti penumpang. Di kantongnya hanya ada beberapa ribu rupiah dari hari sebelumnya. Cukup untuk membeli secangkir kopi dan sebungkus nasi uduk.

“Pagi, Pak!” sapa seorang ibu muda yang langganan, namanya Bu Sari.

“Pagi, Bu Sari! Mau ke pasar, ya?” balas Pak Darma sambil tersenyum ramah.

“Iya, Pak Darma. Anak-anak pada di rumah, jadi cepat-cepat beli lauk buat sarapan,” kata Bu Sari, naik ke atas beca dengan tas belanja yang masih kosong.

Pak Darma mulai mengayuh becanya dengan tenaga yang tersisa. Terik matahari mulai menyengat kulit, tapi ia tetap tak mengeluh. Di tengah perjalanan, Bu Sari yang tahu keadaan Pak Darma, mencoba mengajaknya berbicara.

“Pak, kemarin saya dengar anak bapak masuk rumah sakit. Sudah sembuh sekarang?”

Pak Darma tersenyum kecil, tapi senyum itu menyimpan kesedihan yang dalam.

“Iya, Bu Sari… Alhamdulillah sekarang sudah mendingan. Tapi ya itu, Bu, biaya obatnya mahal. Tabungan saya habis buat bayar rumah sakit. Sekarang saya lagi cari tambahan supaya bisa bayar utang di warung sama Pak RT.”

Bu Sari terdiam, ikut merasakan getirnya hidup Pak Darma. Di zaman yang serba mahal ini, ia tahu betapa susahnya mencari uang.

“Nanti kalau ada rezeki lebih, saya bantu ya, Pak Darma,” ujar Bu Sari lembut.

“Alhamdulillah, makasih banyak, Bu. Tapi jangan dipaksa juga. Rezeki itu kan diatur sama Tuhan, yang penting kita usaha, kan?” jawab Pak Darma sambil terus mengayuh beca dengan penuh keikhlasan.

Tak lama setelah Bu Sari turun di pasar, Pak Darma menunggu penumpang lagi di pinggir jalan. Matahari sudah semakin terik, peluh membasahi tubuhnya yang kurus. Lalu, seorang pemuda berambut gondrong, celana robek-robek, dan membawa gitar, mendekatinya.

“Pak, bisa antar ke Blok M?”

Pak Darma menengok, tersenyum.

“Bisa, Nak. Naik aja.”

Mereka berdua berangkat. Sepanjang perjalanan, pemuda itu, yang ternyata seorang musisi jalanan bernama Roni, bercerita tentang kerasnya hidup di Jakarta. Roni merasa kota ini penuh tekanan, tak peduli pada orang-orang kecil.

“Kita ini cuma debu di kota besar, Pak. Dipandang sebelah mata. Saya ini, sudah berusaha keras, tapi penghasilan cuma cukup buat makan sehari,” Roni mengeluh sambil sesekali memetik gitarnya pelan.

Pak Darma mengangguk, memahami.

“Nak Roni, kita memang nggak punya banyak, tapi yang penting kita nggak nyerah. Saya ini cuma tukang beca, setiap hari mengayuh dari pagi sampai sore. Kadang dapat penumpang, kadang nggak. Tapi, selalu ada cara untuk terus hidup,” katanya dengan bijak.

Roni terdiam, merenungkan perkataan Pak Darma. Ada kekuatan dalam suara lelaki tua itu, seolah-olah ia menemukan ketenangan di tengah badai.

Saat sampai di tujuan, Roni membuka dompetnya, mengeluarkan uang lembaran sepuluh ribuan.

“Pak, ini ongkosnya.”

Pak Darma menolak, menggeleng sambil tersenyum.

“Buat makan aja, Nak. Saya ikhlas antar kamu.”

Roni terkejut, lalu tersenyum. “Terima kasih, Pak. Bapak baik banget. Suatu hari nanti, kalau saya sukses, saya janji bakal bantu Bapak.”

Pak Darma hanya tersenyum lagi. Baginya, ikhlas adalah kekuatan terbesar yang ia miliki. Dan janji Roni? Itu mungkin hanyalah angin lalu, tapi bagi Pak Darma, setiap orang yang naik becanya meninggalkan jejak dan cerita yang ia bawa dalam hatinya.

Hari demi hari, Pak Darma terus mengayuh becanya. Meski hidup dalam keterbatasan, ia selalu merasa cukup dengan apa yang ia miliki. Malam itu, ia duduk di depan rumahnya yang sederhana, merenung sambil memandang langit.

“Gusti, terima kasih buat rezeki hari ini. Apapun yang terjadi besok, saya pasrah sama kehendak-Mu,” gumamnya lirih, merasa damai meski hidupnya penuh kekurangan.

Kisah Pak Darma bukanlah kisah yang luar biasa bagi sebagian orang, tapi bagi yang mau melihat lebih dalam, kisah ini adalah tentang kebahagiaan yang tak diukur dari harta, tetapi dari ketulusan hati. 

Malam itu, ketika Pak Darma tengah beristirahat di depan rumahnya yang hanya berupa gubuk kecil di pinggiran rel kereta, terdengar suara langkah mendekat. Ia mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita yang tak lain adalah Bu Sari. Di tangannya, ada kantong plastik besar yang terlihat berat.

“Pak Darma, maaf malam-malam ganggu. Ini ada sedikit rezeki buat bapak sama keluarga. Jangan ditolak ya, Pak,” kata Bu Sari sambil menyerahkan kantong plastik itu.

Pak Darma terlihat terkejut. “Wah, Bu Sari, nggak usah repot-repot… ini sudah lebih dari cukup buat saya,” katanya sambil mengusap kepalanya yang beruban.

Namun, Bu Sari hanya tersenyum. “Sudah, terima saja, Pak. Jangan bilang nggak enak. Saya cuma mau balas budi sedikit. Bapak sudah sering bantu saya pulang-balik pasar tanpa hitung-hitungan ongkos.”

Pak Darma akhirnya menerima kantong itu dengan rasa haru. Begitu Bu Sari berpamitan, ia membuka kantong plastik tersebut. Di dalamnya ada beras, minyak, mie instan, dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Ia tak bisa menahan senyum bahagianya, merasa diberkahi lebih dari yang ia butuhkan.

Pak Darma langsung masuk ke rumah dan menemui istrinya, Mak Yati, yang tengah duduk di sudut ruangan. “Mak, ini ada rezeki dari Bu Sari. Kita nggak usah beli beras bulan ini!” serunya.

Mak Yati menatap kantong plastik itu dengan mata berkaca-kaca. “Alhamdulillah, Pak. Gusti masih sayang sama kita.” Mereka berdua lantas bersyukur bersama, menikmati momen sederhana yang terasa begitu istimewa.

Keesokan paginya, Pak Darma memulai harinya dengan semangat yang lebih. Dalam pikirannya, ia berjanji akan terus bekerja keras dan mendoakan orang-orang yang sudah berbaik hati padanya. Setelah beberapa jam menunggu di pangkalan, datanglah seorang penumpang yang ia kenal, yaitu Pak Anton, seorang pegawai kantoran yang sering naik beca Pak Darma menuju stasiun.

“Pagi, Pak Darma!” sapa Pak Anton.

“Pagi, Pak Anton! Mau ke stasiun, ya?” tanya Pak Darma sambil mulai mengayuh.

Sepanjang perjalanan, Pak Anton terlihat gelisah. Pak Darma, yang sudah hafal bahasa tubuh penumpangnya, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati pria itu.

“Ada yang bikin pusing ya, Pak Anton? Kok kelihatannya lagi nggak enak hati?” tanya Pak Darma hati-hati.

Pak Anton mendesah berat. “Iya, Pak. Saya lagi ada masalah di kantor. Mau dikeluarin, katanya pengurangan pegawai.”

Pak Darma mengangguk, mendengarkan dengan sabar. “Pak Anton, kadang hidup memang begitu. Nggak selalu sesuai yang kita inginkan. Tapi yang penting, kita jangan menyerah. Bapak pasti akan dapat yang lebih baik. Rezeki itu bukan cuma dari satu pintu, kok,” ujarnya bijak.

Pak Anton menatap Pak Darma dengan mata yang penuh rasa kagum. “Pak Darma, kok ya bapak ini selalu optimis. Padahal hidup bapak juga nggak gampang, kan?”

Pak Darma tersenyum kecil, menepuk dadanya. “Saya nggak punya apa-apa, Pak. Tapi saya punya keyakinan. Setiap kali saya bawa beca, saya percaya Tuhan pasti sudah siapkan rezeki buat saya. Begitu juga dengan Pak Anton. Mungkin pintunya beda, tapi rezekinya pasti ada.”

Perkataan Pak Darma itu seakan menyalakan semangat baru di hati Pak Anton. Sesampainya di stasiun, Pak Anton membayar ongkos dengan senyum dan rasa terima kasih yang dalam.

Hari-hari berlalu, dan kehidupan Pak Darma berjalan seperti biasa. Hingga suatu hari, saat ia baru pulang dari bekerja, datanglah seseorang yang ia kenali: Roni, pemuda musisi yang pernah ia antar beberapa waktu lalu. Namun kali ini, penampilannya berbeda. Ia tampak lebih rapi dan membawa gitar yang terlihat mahal.

“Pak Darma!” seru Roni sambil tersenyum lebar.

Pak Darma menatapnya bingung. “Lho, Roni, kamu ini? Kok tampangnya beda sekarang?” tanyanya heran.

Roni tertawa, lalu merogoh sesuatu dari dalam tasnya. “Pak Darma, saya nggak pernah lupa sama janji saya. Dulu bapak nggak mau terima ongkos dari saya, sekarang giliran saya balas jasa. Saya baru rekaman, dan single saya ternyata sukses di pasaran!” katanya dengan bangga.

Pak Darma hanya bisa melongo mendengar kabar itu. Ia senang dan sekaligus takjub melihat perubahan Roni.

“Nih, Pak, ini buat bapak,” kata Roni sambil menyelipkan amplop di tangan Pak Darma. “Ini tanda terima kasih saya. Tanpa beca bapak waktu itu, mungkin saya nggak sampai tepat waktu di audisi, dan nggak bisa kayak sekarang.”

Pak Darma merasa tangannya gemetar saat menerima amplop itu. Ketika Roni pergi, ia membuka amplopnya dengan tangan bergetar, mendapati isinya berupa sejumlah uang yang cukup besar untuk menutupi utang-utang dan kebutuhan hidupnya selama beberapa bulan ke depan. Pak Darma tak bisa menahan air mata bahagianya.

“Gusti, terima kasih… Engkau selalu mendengar doa hamba,” bisiknya, merasakan kedamaian yang tak terkatakan.

Kisah Pak Darma adalah kisah ketulusan dan keikhlasan. Meskipun hidup dalam keterbatasan, ia tidak pernah berhenti berbuat baik kepada sesama. Dari kehidupan sederhananya, ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan soal harta atau kedudukan, melainkan hati yang bersih dan ikhlas. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....