Saturday, January 13, 2024

Privacy Policy

Privacy Policy for Kumpulan Cerpen

At Kumpulan Cerpen, accessible from https://kumpulancerpenkita.blogspot.com, one of our main priorities is the privacy of our visitors. This Privacy Policy document contains types of information that is collected and recorded by Kumpulan Cerpen and how we use it.

If you have additional questions or require more information about our Privacy Policy, do not hesitate to contact us.

Log Files

Kumpulan Cerpen follows a standard procedure of using log files. These files log visitors when they visit websites. All hosting companies do this and a part of hosting services' analytics. The information collected by log files include internet protocol (IP) addresses, browser type, Internet Service Provider (ISP), date and time stamp, referring/exit pages, and possibly the number of clicks. These are not linked to any information that is personally identifiable. The purpose of the information is for analyzing trends, administering the site, tracking users' movement on the website, and gathering demographic information. Our Privacy Policy was created with the help of the Privacy Policy Generator.

Cookies and Web Beacons

Like any other website, Kumpulan Cerpen uses "cookies". These cookies are used to store information including visitors' preferences, and the pages on the website that the visitor accessed or visited. The information is used to optimize the users' experience by customizing our web page content based on visitors' browser type and/or other information.

For more general information on cookies, please read the "Cookies" article from the Privacy Policy Generator.

>>>>>>> parent of e1b9ab7 ([brands] Updated credits link)

Google DoubleClick DART Cookie

Google is one of a third-party vendor on our site. It also uses cookies, known as DART cookies, to serve ads to our site visitors based upon their visit to www.website.com and other sites on the internet. However, visitors may choose to decline the use of DART cookies by visiting the Google ad and content network Privacy Policy at the following URL – https://policies.google.com/technologies/ads

Our Advertising Partners

Some of advertisers on our site may use cookies and web beacons. Our advertising partners are listed below. Each of our advertising partners has their own Privacy Policy for their policies on user data. For easier access, we hyperlinked to their Privacy Policies below.

Privacy Policies

You may consult this list to find the Privacy Policy for each of the advertising partners of Kumpulan Cerpen.

Third-party ad servers or ad networks uses technologies like cookies, JavaScript, or Web Beacons that are used in their respective advertisements and links that appear on Kumpulan Cerpen, which are sent directly to users' browser. They automatically receive your IP address when this occurs. These technologies are used to measure the effectiveness of their advertising campaigns and/or to personalize the advertising content that you see on websites that you visit.

Note that Kumpulan Cerpen has no access to or control over these cookies that are used by third-party advertisers.

Third Party Privacy Policies

Kumpulan Cerpen's Privacy Policy does not apply to other advertisers or websites. Thus, we are advising you to consult the respective Privacy Policies of these third-party ad servers for more detailed information. It may include their practices and instructions about how to opt-out of certain options.

You can choose to disable cookies through your individual browser options. To know more detailed information about cookie management with specific web browsers, it can be found at the browsers' respective websites. What Are Cookies?

Children's Information

Another part of our priority is adding protection for children while using the internet. We encourage parents and guardians to observe, participate in, and/or monitor and guide their online activity.

Kumpulan Cerpen does not knowingly collect any Personal Identifiable Information from children under the age of 13. If you think that your child provided this kind of information on our website, we strongly encourage you to contact us immediately and we will do our best efforts to promptly remove such information from our records.

Online Privacy Policy Only

This Privacy Policy applies only to our online activities and is valid for visitors to our website with regards to the information that they shared and/or collect in Kumpulan Cerpen. This policy is not applicable to any information collected offline or via channels other than this website.

Consent

By using our website, you hereby consent to our Privacy Policy and agree to its Terms and Conditions.

Tuesday, September 8, 2020

Misteri Senandung Di Rumah Tante

“Sesaat lagi kereta akan berhenti di Stasiun Waru. Penumpang yang akan turun, harap segera bersiap-siap.”


Ting. Tong. Ting. Tong.
 

Suara perempuan pegawai kereta api, membangunkanku. Mataku terbuka, menampilkan pemandangan malam di luar jendela yang remang. Cahaya satu-satunya hanya berasal dari stasiun yang jaraknya mungkin masih 200 meter.

Sepupuku Mbak Fela menyikutku. Sebenarnya, aku sudah terbangun, namun masih memasang wajah setengah mengantuk. Rasanya masih sangat nyaman untuk tidur di kursi kereta. Tapi, kami harus segera beranjak sebelum kereta benar-benar tiba di stasiun Waru Sidoarjo.

Sepupuku yang lebih tua Mbak Ria memimpin kami di depan. Dua menit kemudian kereta kami sampai. Kami pun turun dan keluar untuk segera mencari mobil Tante Aini yang menjemput kami. Cukup mudah menemukannya, sebab mobil itu terparkir tepat di depan pintu keluar. Kami pun segera memasuki mobil.

Di dalam sudah ada tante serta sepupuku, Rahel. Sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah tante, kami memutuskan untuk mengisi perut. Bakso adalah makanan pertama yang terlintas di kepala kami. Tante pun segera membanting setirnya menuju Wisata Kuliner Kepuh.

Tempat itu seperti sebuah lapangan yang dikelilingi oleh para pedagang kaki lima. Ada yang menjual nasi goreng, es campur, es kacang hijau, dll. Selain itu, ada berbagai macam permainan anak kecil, seperti odong-odong, memancing ikan plastik, menerbangkan benda kecil bercahaya –entah apa namanya. Sebenarnya, semua itu sungguh membuatku tergiur ingin membeli semua yang ada di sana. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.

Kami berempat memilih bakso langganan kami. Bakso dengan satu pentol besar tersaji di depan mata. Angin malam yang bertiup pelan, membuat uap bakso hangat menyentuh wajah. Rasa bakso ini tidak pernah mengecewakan.

Sebenarnya, tujuanku, Mbak Fela, dan Mbak Ria berangkat dari Bangil ke Sidoarjo untuk merayakan ulang tahun Rahel kecil-kecilan. Tante Aini membujuk kami untuk datang dengan tawaran akan mentraktir kami selama di Sidoarjo. Tentu saja itu tawaran yang menggiurkan dan tidak boleh disia-siakan.

“Kira-kira besok ngapain ya?” Rahel membuka obrolan.
“Makan-makan aja!!” aku menjawab asal. “Gak seru gitu doang, mumpung lagi ditraktir nih.” Sahut Mbak Fela sambil mengunyah siomay. “Ke mall aja. Semua ada disana. Lengkap!” Mbak Ria memberikan usul yang membuat aku, Mbak Fela, dan Rahel mengangguk setuju. Wajah Tante Aini terlihat kusut. “Pintar kalian yah kalo soal nguras dompet orang.”
Kami tertawa.

“Nonton yuk!” aku memberi usul, kali ini tidak lagi asal. “Tapi, nonton apa yah?”
“Tiga hari yang lalu aku nonton bareng teman-teman. Ada film Posesif, Thor, Gasing Tengkorak, dan Pengabdi Setan. Pilih yang mana?” Rahel menawarkan keempat film itu. “Pengabdi Setan aja! Kata temanku sih filmnya bagus banget, bikin kaget, tegang, dan penasaran.” Sahut Mbak Fela memberi saran.
“Ah, tapi kenapa harus film horror?! Aku paling benci genre itu. Genre yang bikin penonton tutup mata sepanjang adegan film berlatar malam hari. Kalau ditutup kenapa harus nonton. Buang-buang uang aja.” Batinku.
Tapi terlambat, mereka semua setuju.
“Aku udah pernah nonton, filmnya emang bagus. Kalian nonton aja. Aku sama Tante Aini bakal keliling selama kalian nonton besok. Tante pasti gak berani nonton tuh film.” Sindir Mbak Ria sambil mengintip wajah tante yang sudah terlihat semakin kusut. Kami tertawa.

Sepulang dari Kepuh, kami langsung pulang. Rumah tante sepi. Itu karena ini dua hal. Yang pertama, kawasan ini merupakan kawasan perumahan. Kedua yaitu karena tante hanya punya satu anak, dan suaminya selalu sibuk bekerja, menjaga pos polisi sepanjang hari.

Aku segera berganti pakaian menjadi baju tidur milik Rahel. Meskipun dia dua tahun lebih muda, tapi badannya jauh lebih besar dibandingkan denganku. Itu mengapa, aku tidak perlu membawa pakaian ganti selain bajuku yang aku pakai dari Bangil.

Sebelum tidur, kami berkumpul di ruang depan, menonton TV. “Kalian kalau dengar suara orang mandi, nggak usah dipikirin. Kadang-kadang di malam hari, terdengar suara seseorang tengah bersenandung di kamar mandi. Sosok itu bisa laki-laki atau perempuan.” Tante Aini mulai bercerita. Adik dari mamaku ini memang dikenal tidak bisa berhenti bicara. Kali ini dia kembali bercerita, cerita horror yang aku benci.
“Jadi, itu bukan ayah atau mama? Aku kira selama ini kalian yang nyanyi-nyanyi gak jelas.” Rahel menyahuti. Matanya masih fokus menatap layar ponsel, sibuk membalas chat teman-temannya. “Itu bukan mama. Ayah juga membantah pernah nyanyi di kamar mandi. Dia biasa langsung tidur setelah pulang.”
Oke, aku mulai merinding. Cerita ini tengah menju puncaknya. Sialnya, tidak ada yang bisa mengalihkan perhatianku. “Biasa aja Rim, itu biasa terjadi. Setiap rumah kan ada penunggunya.” Tante Aini menyudahi ceritanya.

Aku beranjak tidur kemudian. Malam hari terasa begitu lama kali ini. AC yang menyala di kamar Rahel, semakin lama semakin terasa dingin. Aku menyesal menolak selimut yang ditawarkan tante. Dinginnya AC membuatku semakin susah untuk tidur. Mataku terpejam, tapi kesadaranku sepenuhnya masih utuh.

Jam berdetak terdengar teratur. Suasana terasa sunyi. Ini semakin menakutkan saat cerita seram tante kembali terngiang di otakku. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin segera tidur, tapi malah semakin susah.

Byur. Byur. Na na naaa…
Mataku otomatis terbuka. Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin keluar perlahan. Kenapa semua orang tidur dengan nyenyak? Tidakkah mereka mendengar apa yang terjadi di kamar mandi? Meskipun suaranya terdengar samar, bagiku itu sangat jelas untuk terdengar di suasana senyap ini. Aku memutuskan untuk kembali menutup mata. Bacaan Al-Fatihah dan Ayat Kursi lancar aku bacakan berulang kali. Senandungan itu tidak pernah ingin berhenti.

Akhirnya, pagi datang. Mentari tidak menembus jendela yang tertutup gorden. Hanya terdengar suara gemericik air yang terdengar keras. Aku kira sosok itu masih mandi, ternyata itu suara hujan deras. Ini adalah pertama kalinya Kota Sidoarjo tersiram hujan.

Aku terbangun beranjak menuju dapur. Tante Aini sudah sibuk menyiapkan sarapan. Bau nasi goreng menusuk hidung, terasa enak. Tapi, perutku masih belum sepenuhnya lapar. “Sudah bangun, Rim? Ayo sarapan!” aku menggeleng. Perutku masih belum siap diisi oleh makanan berat. “Kalau begitu, makan tuh roti lapis di meja depan. Ajak yang lain juga. Ini sudah jam 6 tapi mereka masih tidur nyanyak, sedangkan tante harus bangun pagi bekerja di dapur.” Aku hampir tertawa lepas. Tanteku ini pagi-pagi sudah bisa membuat orang terhibur.
Aku mengangguk, berbalik menuju ruang depan. Benar saja, roti lapis rasa coklat dan pandan yang uapnya masih mengepul hangat tersaji di atas piring. Kalau seperti ini, aku baru ingin memakannya. Aku juga mengajak yang lain untuk bangun dan memakannya. Bahkan hanya dengan mendengar kata ‘roti lapis’ mereka langsung terbangun.

Pagi ini berlalu dengan cepat. Sudah pukul 11 siang. Aku dan yang lain bersiap-siap menghabiskan hari libur di salah satu department store. Tante Aini juga sudah menyiapkan mobilnya. Kami pun berangkat.
Mungkin butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai. Jalan raya tidak macet sedikitpun. Aku rasa karena hari ini adalah hari libur, jadi sebagian besar penduduk memutuskan untuk berlibur ke luar kota pergi menuju ke tempat yang lebih tenang.

Bioskop berada di lantai tiga. Lantai tiga adalah tempat wahana bermain, wisata kuliner, serta tempat yang iconic untuk berfoto. Tempat ini selalu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menikmatinya. Mereka berlalu-lalang, bercakap sambil makan, tertawa dan berteriak histeris saat bermain wahana. Pemandangan menyenangkan ini dapat aku lihat sejauh mata memandang.

Kami berlima memutuskan untuk tidak mengulur waktu untuk menikmati semua itu, sebab film yang akan kami tonton satu jam lagi akan tayang. Beruntung saat sampai disana kursi yang kosong masih cukup banyak. Kami bisa memilih tempat yang strategis untuk menonton, tidak jauh dari layar dan tidak terlalu dekat dari layar.

Baiklah, ini adalah pertama kalinya aku kembali menonton film horror setelah sekian lama. Film ini sudah bertahan di bioskop satu bulan lebih. Kisahnya yang membuat penonton berteriak histeris berhasil menjadi trending topic. Total penonton yang didapatnya pun sudah mencapai 4 juta. Pengabdi Setan benar-benar telah menghebohkan dunia perfilman Indonesia, jadi aku rasa aku tidak akan rugi menontonnya.

Satu jam kemudian kami masuk ke ruang teater 3 atau studio 3. Film pun ditayangkan tidak lama kemudian. Aku cukup antusias dengan film ini. Dua jam berlalu tanpa terasa. Kami berlima keluar dari studio dengan wajah puas. Meskipun jujur saja, aku terlalu banyak menutup mata sepanjang film diputar. Tapi, aku cukup puas dengan jalan ceritanya. Tidak heran, film horror ini menghebohkan Indonesia.

Sebelum pulang, kami memutuskan untuk jalan-jalan sebentar mengisi perut kosong. Ada paket murah terpampang di banner depan toko. Nasi goreng dengan ice lemon tea yang menggugah selera. Kami pun masuk ke dalam memesan makanan.

Pukul lima sore kami keluar dari departement store. Sepanjang perjalanan pulang, kami asyik membahas film tadi. Aku pun juga ikut bergabung. Ternyata film horror pun juga bisa menyenangkan.

Hari beranjak malam. Langit Sidoarjo sudah gelap. Matahari berganti rembulan. Entah kenapa, tiba-tiba aku kembali kepikiran hal aneh kemarin. Saat kamar mandi rumah tante ada yang menggunakan. Seorang perempuan bersenandung riang sambil bermain air di dalamnya. Buluku meremang.
Ditambah lagi dengan adegan-adegan menakutkan yang tadi belum sempat aku tutupi di film. Adegan dimana wajah seram sang ibu di-close up, wajahnya terias dengan apik. Lalu, aku juga mengingat suara lonceng khas milik sang ibu. Semua itu mampu membuatku ketakutan sendiri. Aku buru-buru menyingkirkan pikiran burukku.

Malam semakin larut, kami beranjak tidur. Kali ini aku menggunakan selimut, berharap bisa tidur nyenyak di malam terakhirku di rumah tante. Namun, sia-sia. Pikiran buruk inilah yang sedari tadi menggangguku. Seperti malam sebelumnya, aku kembali mendengar senandungan menakutkan di kamar mandi. Aku tidak membuka mata, berusaha untuk tetap tenang. Suara itu semakin terdengar jelas. Detak jam pun tidak terdengar karenanya. Aku menarik selimut ke atas, menutupi wajah.

Pagi kembali datang. Lagi-lagi aku yang pertama bangun setelah tante. Aku rasa karena tidurku sama sekali tidak nyenyak dua hari terakhir. Aku berjalan menuju ruang tamu. Menyalakan TV menonton berita pagi. Konsentrasiku pecah. Aku kembali memikirkan kejadian tadi malam. Itu benar-benar nyata. Inilah pertama kalinya aku bisa merasakan hal aneh seperti itu. Semua ini gara-gara cerita tante.

Dua jam berlalu, ketiga sepupuku menyusul bergabung di ruang tamu. Sarapan pun juga sudah siap. Kami menikmati makanan yang dibuatkan tante.
“Kalian dengar suara-suara aneh nggak dua malam terakhir ini? Seperti suara seorang perempuan bersenandung.” Aku bertanya, membuka obrolan pagi. Mereka menggeleng. Tapi tidak dengan Mbak Fela. “Sebenarnya aku juga mendengarnya. Tapi itu samar-samar tidak jelas. Aku pikir karena aku terlalu kepikiran cerita tante.” Aku menggeleng tegas. “Aku mendengarnya, suara itu benar-benar jelas.” Seruku hampir melemparkan sendok. “Benarkah?” Mbak Fela masih belum percaya.

Tiba-tiba tante tertawa kencang. Dia hampir memuncratkan makanan yang ada di mulutnya. Kami menatapnya heran. Tante berbalas menatap kami.
“Kalian pasti ketakutan gara-gara tante.” Dahiku berkerut, tidak mengerti. “Sebenarnya dua malam terakhir, perut tante mendadak selalu mulas. Jadi tante pergi ke kamar mandi.”

Aku dan Mbak Fela menatap tidak percaya. Jantung kami harus berlomba setiap dua malam terakhir karena hal tidak terduga ini, dan sekarang tante malah bercerita tanpa rasa bersalah.

“Lalu kenapa mama bersenandung? Kalau aku yang mendengarnya, aku pasti sudah lari ke kamar mama.” Jujur saja, aku juga sebenarnya penasaran dengan jawaban dari pertanyaan Rahel.


Tante Aini memasang cengiran lebar-lebar.
 

“Sebenarnya sejak kalian ingin menonton film horror itu, tante jadi sering kepikiran. Tante juga begitu takut dengan hal-hal seperti itu. Makanya, saat malam-malam di kamar mandi, tante bersenandung supaya suasananya nggak terlalu sepi. Supaya tante juga bisa mengusir pikiran buruk tante. Makanya tante bersenandung dan membuat suara air lebih keras.”

Aku memukul jidat tidak percaya. Jadi selama dua malam terakhir ini, aku tidak bisa tidur nyanyak, selalu merasa dihantui, itu karena ulah tante. Benar-benar sial liburanku di Sidoarjo kali ini.


Tapi, kemudian kami tertawa menyadari kesalahpahaman ini.

Masa Lalu Berdarah

Selamat datang di rumahku!” kata seorang wanita yang duduk sambil minum teh.
“Terima kasih nyonya. Jadi hari ini saya sudah mulai bekerja?” Asih meletakan barang bawaannya di lantai.


Pemilik rumah itu bernama Rossa. Rossa telah cukup lama ditinggal mati oleh suami dan anaknya. Sudah bertahun-tahun ia menghabiskan masa hidupnya di rumah hasil warisan suaminya.


“Kamu sudah boleh bekerja. Disanalah kamarmu.” Rossa mengantarkan Asih ke depan kamarnya.


“Silahkan kamu istirahat dulu. Nanti jam 4 sore, barulah kau mulai bekerja.”
Asih mengangguk sambil tersenyum, “Terima kasih Nyonya.” Lalu menutup pintu kamar dan merapikan pakaian yang ada di dalam koper.


Rossa melangkah pergi dan duduk di atas kursi, melanjutkan kegiatannya. Di penghujung siang, ia biasa menjahit sehelai kain untuk dijadikan mantel. Di usianya saat ini, ia masih bisa melakukan beberapa hal yang bisa ia kerjakan sendiri. Soal mempekerjakan Asih hanya untuk berjaga-jaga jika terjadi apa-apa dengannya.


Di dalam kamar barunya, terlihat Asih berlamun indah. Kemudian pikirannya menjadi kacau. tentang bayang kelamnya dulu. Ia berusaha membuang semuanya. Namun sulit. Seperti ada sesuatu yang memaksanya.
“Aa.. argh!”, Asih berusaha menahan tubuhnya yang perlahan jatuh. Di matanya terbayang sosok laki-laki yang samar. Merasa tak kuat, Asih pun merobohkan tubuhnya di atas ranjang.


Sorenya, Asih mulai membersihkan tiap sudut rumah Rossa, “Berdebu sekali…”
“Memang ruangan ini sudah lama tak dibuka, apalagi dibersihkan. Semenjak anakku meninggal.” Kata Rossa yang tiba-tiba muncul.


“Maafkan saya bu, saya…” kata Asih yang merasa bersalah.
“Tidak perlu minta maaf. Lagipula, apa salahmu? Kamar ini menjadi saksi bisu atas perampokan yang terjadi beberapa tahun lalu.” Air mata Rossa menetes.
Asih benar-benar membuat majikannya bersedih. Tapi, ia sudah mulai tenang karena Rossa memaafkannya.


“Kalau begitu saya lanjut kerja dulu Bu.”
“Kamu tak ingin aku melanjutkan kisahnya?” tanya Rossa.
Asih menggeleng pelan dan berkata, “Saya mau, tapi bukan sekarang. Rumah Ibu belum semuanya kubersihkan. Izinkan saya untuk melanjutkannya.”
“baiklah.” Kata Rossa, “permisi.” Tambah Asih.


Rossa terduduk di atas ranjang anaknya. Asih sesekali melirik. terlihat Rossa yang mengambil boneka kayu milik anaknya dan menyisiri rambutnya perlahan. Asih yang melihat itu, heran dengan sikap Tuannya.


Tiba-tiba, bulu kuduk Asih berdiri. Benar saja, seketika boneka itu berubah menjadi sosok anak laki-laki yang menatap tajam Asih. ia pun ketakutan dan berteriak keluar dari kamar itu.


Rossa yang mendengar teriakan Asih, langsung menghampirinya dan membawa Asih tuk duduk sambil melanjutkan yang belum sempat diselesaikannya.
“Asih tenanglah. Baiklah, aku akan melanjutkan ceritaku tadi. Dengarkan baik-baik.”


Asih mengangguk, masih dalam keadaan takut. Ia pun berusaha tenang dan mendengarkan cerita majikannya.
“Jadi begini, beberapa tahun lalu, rumah kami dirampok oleh sekumpulan orang. Dan pada saat itu, kami sedang berada di kamar anakku. Tiba-tiba kumpulan orang yang tak diinginkan masuk dan membunuh suami serta anakku, aku pun tak tinggal diam. kau tahu apa yang terjadi berikutnya?” Asih menggeleng, kepalanya terasa pusing seketika.


“Mereka juga mati, tapi ada satu orang yang berhasil lolos dengan membunuh semua orang yang ada di rumah itu.”


“kepalaku.. pusing. Bu, sebentar!” Kata Asih sembari memegang kepalanya.


“Aku, mengingatnya!” tambah Asih. Air matanya menetes.


“jadi kau sudah mengingatnya?” Rossa berdiri dan mendekati Asih. Ia kaget melihat majikannya itu sudah membawa sebilah pisau.


“Bu, jadi.. jangan Bu, jangan!”


“Ini akibat perbuatanmu Asih. Sekarang, lengkap sudah orang-orang di masa itu.” Kata Rossa sambil menatap ke bawah.

Karya :Muhammad Yusuf Shabran

Siapa Yang di Sana ?

Hari itu begitu sangat berat baginya, rasa kesal yang mendalam padanya terasa sangat kuat. Rasa amarah yang tidak tau harus diarahkan kemana menbuat ia menjadi seseorang yang menyebalkan. Ia berjalan pulang dari sekolahnya. Rasa panas dan membakar dalam dirinya yang menguap tiba-tiba hilang akibat guyuran hujan yang begitu derasnya. Ia tetap melangkangkan kakinya selangkah demi selangkah sambil sesekali menghadap ke atas untuk merasakan dinginnya air hujan yang membasahi seluruh wajahnya, Ia tak peduli dengan apa yang terjadi ketika badannya basah kuyup. Ia hanya memikirkan bagaimana tenangnya dalam keadaan dingin seperti ini.

Tak terasa ia berjalan begitu jauh, ia kebingunan karena jalan tanpa tentu arah, ternyata ia telah salah jalan pulang ke rumah. Ia memandang ke sekeliling yang terasa sangat aneh baginya suasana yang begitu menyebalkan menurutnya, keramaian yang sangat berisik membuat suasana hatinya kembali menjadi tak tentu.

Ia melihat ke tangannya untuk melihat jam, waktu menunjukan pukul 13.40. Tak terasa ia telah berjalan selama 40 menit. Tidak ada rasa lelah di wajahnya karena yang ada dalam pikirannya hanya rasa kesal yang tak henti-hentinya dari tadi.

Ia terus bertanya dalam hatinya .

Kenapa bisa terjadi

Apa yang salah? 

Sudahlah…

Ia berjalan dengan perlahan memperhatikan keaadan, banyak orang lalu lalang tanpa henti, ada yang berteriak-teriak “lima perak dapat 3, lima perak dapat 3…” ada yang tawar menawar dengan bercanda, ada kepulan asap yang beragam baunya, Ia baru sadar ia sedang berada di pasar. Rintik hujan masih belum usai, langit masih belum lega begitupun ia. Jalanan yang sangat kumuh wajarnya pasar tradisional. Keadaan yang basah kuyup menyebabkan ia merasa sangat dingin, ia pun dengan langkah yang cepat menghampiri seorang penjual.

“permisi Bu, ini namanya pasar apa ya?” dengan wajah yang terpksa tersenyum
“pasar *****” dengan suara yang sangat lembut
Ia pun kaget ternyata itu adalah pasar yang tak pernah ia tau ada di daerahnya.
“terima kasih ya bu” ia membalas dengan tersenyum kecil

Ia pun makin bingung karena pakaian yang dipakai orang-orang terasa sangat aneh, tak ada yang memakai alas kaki. Ia pun baru sadar kalau ia berada dalam keanehan.

Semua laki-laki hanya bertelanjang dada dengan hanya mamakai celana pendek, para perempuan pun hanya memakai kain yang menutupi bagian atas dan bawahnya. Ia pun terasa sangat aneh ia berlarian kesana kemari dan tidak melihat rumah-rumah dari tembok seperti biasanya, jauh mata memandang ia hanya melihat tampak pohon-pohon tinggi.

Ia mencoba memejamkan mata, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Ini dimana? apa yang sedang terjadi padaku?
Apa aku sudah mati? kenapa secepat ini? ah itu tidak penting
Aku harus berbuat apa? aku harus alasan ke mama apa? ini sudah sangat lama, mama pasti kuatir.

Semua yang ia pikirnya seketika itu hilang karena ada seseorang yang menepuk bahunuya
“hei, bajumu kok aneh?`”
Ia pun tersentak karena kaget “apa? kamu siapa? ini dimana?”
“itu apa yang sedang kamu bawa di punggungmu? bentuknya bukan seperti pedang ataupun cangkul?”
“kamu siapa? sebenarnya apa yang sedang terjadi? ini dimana?” dengan nada sedikit tinggi dan kesal
“itu yang kamu pakai di kakimu apa? kok bagus, aku belom pernah melihatnya”
“sudahlah berhenti melihatku” ia pun bernada semakin tinggi
“oh iya maaf, kamu tadi nanya apa?” dia berbicara dengan memakan sesuatu

Ia melihat ke arah orang di depanya, ia melihat orang itu sedang makan sebuah tangan, dimulai dari jari-jari yang diemut kemudian dikunyah begitu lahapnya.
“krauk-krauk`” darah dari tangan itu masih begitu segar, ia melihat seseorang itu dengan ketakutan, Ia makin bingung apa yang sedang terjadi, ini sebenarnya pasar apa?

Kamu siapa?

Orang di depannya pun menjawab sambil tersenyum dan tertawa kecil

"Aku bukan siapa-siapa"

 

Karya : Ainur Rohman 

Thursday, October 31, 2019

Hidup Kedua Kali

Hidup Kedua Kali
Aku tergolek lemah, setelah kuminum racun baygon beberapa tenggak. Selang beberapa menit mulutku berbuih penuh busa putih. Saat itu kurasakan seperti meregang nyawa. tubuhku serasa lumpuh, tiada sedikitpun daya untuk bergerak, hanya mampu melihat yang tersisa. Air mataku mengalir begitu saja, menangisi apa yanng telah terjadi. Mungkin benang-benang penyesalan merajut dalam angan khayalku.

Tiba-tiba saja, Safa, anakku satu-satunya datang. Berkali-kali ia memanggil namaku. Aku yang tak berdaya tak mampu berucap sepatah katapun. "Mama, mama kenapa ? Bangun Ma " , teriaknya sambil menangis. Kembali mataku hanya menatap atap-atap langit yang mulai pudar terboreh oleh bocoran dari genteng-genteng rumahku.

Sepertinya aku sudah berada di depan ajal, pikirku. Kulihat Safa tampak berlari keluar. Seketika itu banyak para tetanggaku berhamburan menuju aku yang sedang terbaring lemah dengan mulut yang dipenuhi busa.Aku dilarikan ke rumah sakit. Waktu itu aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Dan tiba-tiba saat di perjalan aku tak bisa membedakan mana kehidupan nyata dan mana yang bukan. Anehnya aku bisa melihat semuanya yang berada di dalam sebuah mobil ambulance sedang menolong aku. Berapa kali kusapa mereka, tapi mereka enggan membalas sapaku. Aku baru menyadari jika mereka tak melihat keberadaanku. Di saat yang bersamaan, Aku melihat diriku sendiri yang sedang tertidur di sebuah dipan milik ambulance. Aku sempat menangis, kusadari itu jasad diriku yang sesungguhnya. Perasaan menyesal datang bertubi-tubi. Aku berusaha meraih jasadku. "Ayo bangun, ayo bangun Rita !", pintaku sambil ku coba mengayunkan jasadku, namun semua usahaku bagai sia-sia. Aku seperti sebuah bayangan semu yang tak mampu menyentuh sesuatu yang nyata.

Aku melihat Safa anakku sedang dipangku oleh Nina, tetangga sebelah rumahku. Mata Safa tampak merah sembab. Tampak air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Sesekali beberapa kata keluar dari mulutnya. Dan yang kudengar selalu kata "Mama.......... jangan tinggalkan Safa, Ma." Nina memeluknya erat-erat, seakan ia memahami hati dan ingin menenangkan Safa anakku. " Ah, maafkan aku anakku, mama terlalu bodoh melakukan hal yang tak pernah mama pikirkan dahulu. " tiba-tiba perasaan sedih tiba dalam alam pikiranku.

Ketika ambulance sudah mendekat di pintu rumah sakit, pintu ambulance segera dibuka. Jasadku didorong menuju ruang gawat darurat. Di situ tampak kulihat begitu banyak orang-orang mengiringi kasur dorong yang sedang mendorong jasadku. Dalam rombongan itu, aku melihat suamiku. Baru kali ini kulihat muka suamiku berlumuran air mata. Sesaat aku begitu terharu dengan suasana ini. Tapi, lagi-lagi aku teringat akan berita perselingkuhan suamiku. Amarahku kembali membuncah. Aku benar-benar marah dan sakit hati karena telah dihianati oleh suamiku yang dulu pernah mencintaiku. Oleh karenanya kutempuh jalan yang teramat bodoh ini. Meminum racun karena berharap semuanya kusudahi. Tapi, kini. Aku begitu menyesal. Semuanya tak bisa hilang begitu saja. Aku harus menebus dosa besar ini di hadapan Sang Illahi. Dan akulah orang yang paling merugi, karena sudah kalah di dunia, di akhirat menebus dosa. Tapi semuanya tekah terlambat. "Maukah Tuhan mengembalikan lagi aku ke alam dunia ?" aku kembali menangis, hanya ini yang kumampu.

Aku mendekati jasad suamiku. Kucoba menatap matanya yang sembab. Sesekali ia usap pipinya yang dijatuhi bulir-bulir air matanya. "Ma, kenapa sampai hati kamu berbuat seperti ini ? Apa Salahku ? Aku begitu teramat mencintaimu !" Samar-samar kudengar kata-katanya menyentuh aku. "Kuatkan jiwamu Ma, Ayo kembalilah pada aku dan Safa anak kita ". Aku kembali mematung. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba aku dipenuhi rasa mual yang tak terelakkan lagi.

Aku muntah. Muntahanku begitu banyak dengan aroma baygon yang teramat pekat. "Alhamdulillah. . . . ", berkali-kali kudengar para suster yang sedang berusaha mengobatiku mengucap syukur atas apa yang telah terjadi pada diriku. Mungkin karena begitu shock dan lemah, aku tertidur lagi.

Saat mataku kubuka perlahan-lahan, kulihat suamiku dan Safa sedang tertidur di ranjang pembaringanku. Perlahan ku usap rambut suamiku. Suamiku terbangun. "Ma, jangan ulangi lagi perbuatan ini ya Ma ! Kami semua sayang Mama" Ia segera memelukku. Tak beberapa lama lagi, Safa terbangun. "Safa, terima kasih ya, Kamulah yang menolong Mama " , ucapku lirih. Kami sama-sama berpelukan dengan berurai air mata. Dalam hati aku berucap hamdallah, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya.

Thursday, August 29, 2019

Pernikahan yang Indah

Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Saat kami dinyatakan syah, kucium tangan suamiku dan suamiku membalas dengan mencium keningku. Berkali-kali aku mengucap hamdallah , tanda syukurku kepada Ilahi. Semua begitu indah ku rasakan, bahkan tak kuasa tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Kedua orang tuaku dan kedua orang tua Kak Hasan tampak sangat bahagia sekali, senyum mereka nampak selalu mengembang tuk beberapa saat. Sanak saudara dan handai taulan menghadiri akad nikah pernikahanku. Senyum kebahagiaan menuai di sana sini.


Tuesday, April 16, 2019

Rahma, Istriku

Rahma, Istriku
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Seketika istriku jatuh tergeletak di teras ruang tamu dalam sebuah pukulan dari tanganku. Namun setelahnya istriku sama sekali tak bergerak. Aku mencoba menyentuh wajahnya. Ia hanya diam membisu. Kucoba menepuk-nepuk pipinya, namun istriku sama sekali tak menjawab apapun. Tampak darah mengalir di dahinya. Serta merta kugendong tubuhnya yang ringan menuju ke mobil.



Tuesday, March 12, 2019

Menangisi Sebuah Cinta

Menangisi Sebuah Cinta
Kali ini aku tak mampu lagi membedakan antara rasa benci dan cinta. Seolah keduanya hanya dibatasi oleh sehelai benang yang sangat tipis sekali. Terkadang rasa cinta dan sayang itu hadir menyelimuti diri mengenang masa-masa indah dulu yang pernah kami reguk bersama. Namun tiba-tiba saja rasa cinta ini berubah menjadi benci seketika kala teringat betapa sakitnya aku diperlakukan olehnya seperti ini. Luka batin lebih menyisakan bekas yang akan sulit untuk hilang, akan butuh waktu yang lama untuk bisa memaafkan sebuah kesalahan dari pasangan kita.

Dengan Irwan lah dulu ia yang selalu aku bangga-banggakan di depan keluargaku. Tubuhnya tegap dengan postur tubuh yang lumayan tinggi seperti atlet. Jika berjalan tampak bahu-bahunya sejajar karena latihan aerobik yang telah dijalaninya beberapa tahun belakangan ini. Senyumnya begitu menggoda, tak heran jika ABG pun doyan menggodanya. Ah, jika saja aku wanita bertype pencemburu, mungkin sudah ribuan kali aku harus marah padanya lantaran begitu banyak yang mencoba menggodanya di depan bola mataku sendiri. Tapi Irwan selalu meyakinkan diriku, bahwa cintanya tetap hanya untukku seorang. Rasa cinta bisa membutakan mata hati kita, menelantarkan seribu alasan untuk dapat tetap memilih Irwan sebagai tempat terakhirku berlabuh.

Dulu cinta Irwan begitu menggebu-gebu padaku. Menderu-deru bagai deru ombak laut yang tak pernah padam diterpa riuhnya angin samudra. Dia begitu lihai merebut hatiku. Padahal dulu, begitu banyak laki-laki selain Irwan yang jatuh hati padaku. Tapi memilih Irwanlah kata hatiku. Aku sampai terpedaya oleh bujuk rayunya, aku begitu percaya terhadap segala bualan cinta Irwan. Hingga akhirnya kami merajut kasih dalam sebuah mahligai rumah tangga.

Begitu buah cinta pertama kami hadir ditengah-tengah kehidupan kami yang masih dinaungi oleh percikan kehangatan cinta kami berdua, Irwan menyuruhku untuk berhenti bekerja. Irwan berharap agar aku bisa memberikan perhatian yang penuh untuk anak kami. Meski saat itu karierku sedang merambah, namun kusadari, anak adalah segalanya bagiku. Aku merasa cukup dengan uang yang diberi dari keringat suamiku sendiri. Akhirnya kujalani hidup ini untuk membesarkan anakku dengan tanganku sendiri. Sebuah pilihan yang mempertaruhkan segala yang telah kumiliki selama ini.

Saat itulah, ternyata Irwan hanya mencari-cari alasan agar ia dapat melenggang bebas tanpa diketahui oleh aku. Irwan ternyata punya selingkuhan di kantor. Dan berita ini baru kudengar setahun setelah aku berhenti bekerja dari Nina, teman sekantorku dulu yang pernah menjadi sahabatku. Aku menangisi kenyataan ini. Begitu pahit teramat sangat harus kutelan mentah-mentah berita yang baru kudengar ini. Mengapa Irwan begitu tega menyakiti hatiku dan terutama hati Cyntia, anak kami satu-satunya. Dan wanita seligkuhan itu, lagi-lagi aku tak percaya, ia adalah temanku sendiri. Apakah tak pernah terpikir dari dirinya, bagaimana jika dia sedang berada di posisi aku ? Mengapa harus mengganggu rumah tangga kami yang awalnya penuh ketentraman ? Aku kembali menangis, jika harus selalu mengingat dan mengingat tentang apa yang sedang terjadi pada rumah tangga kami.

Sering aku dapati di kantong bajunya beberapa tissue dengan bekas lipstick. "Siapa lagi kalo bukan milik seorang wanita" batinku memerangi kegundahan ini. Aku sama sekali tak pernah menanyakan milik siapa tissue itu. Kubiarkan Irwan bebas melakukan apa yang dia kehendaki, meski batinku harus berperang melawan sakit yang tiada terperi. Aku hanya mampu menjadi wanita yang rapuh. Sesaat aku begitu tegar, tapi kemudian menangis lagi. Hanya itulah sebatas yang bisa aku lakukan. Seperti wanita-wanita cengeng lainnya, yang hanya mampu menangis tanpa bisa berbuat apapun untuk membela dirinya. Tubuhku kian hari digerogoti oleh kerapuhan hati. Semakin hari berat badanku selalu berkurang. Dan Irwan sama sekali tak punya hati. Mungkin cintanya telah padam untukku. Aku seperti menjalani hidup dengan terseok seok, yang mengemis untuk sebuah cinta dari Irwan untukku dan juga untuk anakku.

Aku percaya, dalam setiap proses hidup pasti kita mendapat ujian dari sang Illahi. Dan aku memilih diam, mengikuti apa kemauan Irwan, suamiku. Meski harus kujalani hidup penuh dengan cinta semu belaka dari suamiku sendiri.