Di sebuah kota kecil yang ramai, tinggal seorang pemuda bernama Dimas. Seperti kebanyakan anak muda lain, Dimas sangat terobsesi dengan gadget canggih, terutama HP mewah yang sering ia lihat di iklan atau di media sosial. Ia membayangkan bagaimana hidupnya akan berubah jika bisa memiliki HP yang diidamkannya: kamera berkualitas tinggi, layar penuh warna, dan fitur-fitur yang membuatnya merasa lebih berkelas. Sayangnya, dengan gajinya sebagai karyawan toko kelontong, impian itu tampak jauh dari jangkauannya.
Setiap hari, ketika pulang kerja, Dimas berhenti sejenak di etalase sebuah toko elektronik yang menjual HP-HP mewah. Tatapannya penuh dengan rasa kagum dan keinginan yang terpendam. Namun, ia tahu, harga satu HP di sana lebih besar daripada penghasilannya selama berbulan-bulan.
Di Toko Elektronik
Suatu hari, Dimas melihat HP terbaru yang dipajang di etalase. HP itu lebih canggih dan mahal daripada yang pernah ia lihat sebelumnya, dan ia langsung terpikat. Pemilik toko, Pak Ridwan, menyadari tatapan Dimas yang terkesima itu dan menyapanya.
Pak Ridwan: tersenyum “Dimas, tiap hari ke sini cuma buat ngeliatin HP, nih?”
Dimas: tersenyum kikuk “Iya, Pak. HP ini keren banget, sih. Kayaknya kalau punya ini, hidup gue bakal lebih bahagia.”
Pak Ridwan: tertawa kecil “Hati-hati, Mas Dimas. Jangan sampai kebahagiaan kamu ditentukan sama benda kayak gini.”
Dimas: menghela napas panjang “Saya tahu, Pak. Tapi, lihat HP ini aja bikin saya merasa lebih semangat. Rasanya... kayak ada gengsi tersendiri kalau punya HP kayak gini.”
Pak Ridwan: mengangguk bijak “Kalau cuma untuk gengsi, hati-hati, ya, Mas. Kadang gengsi itu cuma bikin kita jadi serakah dan lupa sama apa yang benar-benar penting.”
Dimas hanya tersenyum samar, meski dalam hatinya ia tetap merasa iri pada orang-orang yang bisa dengan mudahnya memiliki HP mewah. Saat ia beranjak pergi dari toko, ada perasaan sakit di hatinya, seolah-olah ia sedang bertarung dengan keinginan yang tak pernah bisa ia wujudkan.
Pertemuan dengan Teman Lama
Suatu sore, Dimas bertemu dengan Toni, teman lama yang kini bekerja di kota besar dan tampak sukses. Mereka memutuskan untuk mengobrol di sebuah kafe kecil, dan tanpa disangka, Toni mengeluarkan HP mewah terbaru yang menjadi impian Dimas. Mata Dimas berbinar melihat HP itu, namun ada juga perasaan iri yang sulit ia sembunyikan.
Dimas: melirik HP Toni “Wah, Ton! HP kamu keren banget, ya. Itu yang terbaru, kan?”
Toni: tersenyum bangga “Iya, ini HP terbaru. Fiturnya lengkap banget, Dim. Kamera bening, baterai tahan lama, pokoknya cocok banget buat gaya hidup di kota besar.”
Dimas: tersenyum canggung “Pasti mahal, ya?”
Toni: tertawa ringan “Iya, sih. Tapi ya, kerja keras gue akhirnya kebeli juga. Kalau lo mau, lo juga pasti bisa beli HP kayak gini, Dim.”
Dimas merasa semakin termotivasi sekaligus tertekan. Ia memendam perasaan ingin memiliki HP tersebut lebih dari apapun. Toni seolah membuatnya merasa kecil, seolah-olah tanpa HP itu, Dimas hanyalah seorang pria biasa yang tidak punya keistimewaan apa-apa.
Rencana Nekat
Dalam rasa frustrasi yang semakin hari semakin menguasainya, Dimas mulai merencanakan sesuatu yang nekat. Dia berpikir untuk meminjam uang dari rentenir atau bahkan melakukan pekerjaan tambahan yang ia tahu tidak akan memberinya hasil besar, namun sudah tidak ada pilihan lain yang ia pikirkan.
Baca juga Deru Roda dan Cinta
Dimas mendatangi sebuah tempat peminjaman uang yang terkenal dengan bunga tinggi dan persyaratan yang ketat. Di sana, dia bertemu dengan seorang rentenir bernama Budi, yang langsung memandangnya dengan sorot tajam.
Budi: dengan nada serius “Lo mau pinjam uang berapa, Mas Dimas?”
Dimas: dengan nada tegas namun gugup “Saya butuh sepuluh juta, Pak.”
Budi: tertawa kecil “Sepuluh juta bukan angka kecil, Mas. Tapi gue bisa bantu, asalkan lo siap bayar bunga gede. Kalau gak bisa bayar, risikonya tinggi, lo paham?”
Dimas: mengangguk mantap “Saya paham, Pak. Saya cuma mau punya HP mewah itu... saya yakin bisa lunasin.”
Tanpa banyak berpikir, Dimas menandatangani perjanjian dengan Budi dan pulang dengan membawa uang yang cukup untuk membeli HP impiannya.
Euforia Sesaat
Dengan uang pinjaman itu, Dimas membeli HP mewah yang diinginkannya. Ia merasa seolah-olah menjadi orang baru; setiap kali mengeluarkan HP tersebut, ia merasa lebih percaya diri, dan orang-orang di sekitarnya memandangnya dengan rasa kagum. Semua teman-temannya mulai memuji HP barunya, dan Dimas semakin terbuai dalam euforia yang diciptakan oleh gengsi.
Temannya, Rio, yang mengenal Dimas sejak lama, memperhatikan perubahan sikap Dimas dan merasa khawatir.
Rio: melihat Dimas dengan cemas “Dim, lo beli HP mahal itu pake uang siapa? Kayaknya gak mungkin lo bisa beli dari gaji lo yang sekarang.”
Dimas: tertawa kecil, pura-pura cuek “Tenang aja, Rio. Gue pinjam uang, tapi gue bakal bayar nanti. HP ini bikin hidup gue beda, bro. Gue merasa lebih dihargai.”
Rio: dengan nada serius “Tapi lo sadar gak, Dim, lo cuma ngejar gengsi? Kalo lo gak bisa bayar, gimana?”
Dimas: terdiam, namun kemudian memaksakan senyum “Gue tau, Rio. Tapi ini pilihan gue. Lagipula, hidup gue jauh lebih baik sekarang. Gue gak peduli orang bilang apa.”
Kenyataan yang Mencekam
Bulan demi bulan berlalu, dan Dimas mulai kewalahan dengan cicilan yang harus ia bayarkan. Penghasilannya tidak cukup untuk menutup bunga pinjaman, dan tekanan dari rentenir semakin berat. Suatu hari, Dimas menerima panggilan dari Budi yang memintanya untuk melunasi pembayaran dalam waktu seminggu.
Budi: dengan nada mengancam “Mas Dimas, gue kasih waktu seminggu. Kalo gak lunas, lo tau akibatnya.”
Baca juga Para Pengemis yang Bertahan Hidup di Tengah Padatnya Jalan Jakarta
Dimas mulai panik. Dia sudah kehabisan uang, dan tidak ada lagi teman yang mau membantunya. Semakin hari, HP yang dulu ia banggakan terasa seperti beban berat yang membuatnya terpuruk. Dia mulai menyesali keputusan impulsifnya dan merasa terjebak dalam gengsi yang sebenarnya tidak memberinya kebahagiaan sejati.
Bertemu Pak Ridwan Lagi
Merasa tertekan dan putus asa, Dimas akhirnya kembali ke toko elektronik tempat Pak Ridwan bekerja. Pak Ridwan melihat Dimas datang dengan wajah yang lesu dan tahu bahwa pemuda itu sedang berada dalam masalah.
Pak Ridwan: dengan nada lembut “Dimas, ada apa? Kamu kelihatan gak baik-baik aja.”
Dimas: menghela napas, merasa malu “Pak... saya dulu terlalu nekat. Saya pinjam uang cuma buat beli HP ini, dan sekarang saya gak bisa bayar hutangnya. Saya bingung, Pak. Saya gak tau harus gimana.”
Pak Ridwan: mengangguk penuh pengertian “Dimas, gengsi itu memang bisa membuat kita lupa diri. HP ini cuma barang, dan kebahagiaan itu bukan soal barang mewah. Kalau kamu mau, saya bisa bantu menjual HP ini lagi. Uangnya bisa kamu pakai untuk bayar sebagian hutang.”
Dimas terdiam, merenungkan kata-kata Pak Ridwan. Meskipun ia merasa berat, dia sadar bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengurangi bebannya. Dengan rasa sedih namun pasrah, Dimas akhirnya menyerahkan HP kesayangannya kepada Pak Ridwan untuk dijual kembali.
Menghadapi Kenyataan
Dengan uang hasil penjualan HP tersebut, Dimas berhasil membayar sebagian hutangnya, meskipun masih ada yang tersisa. Namun, keputusan itu membuatnya merasa lebih ringan, seolah-olah beban besar telah diangkat dari pundaknya. Dimas mulai bekerja lebih keras untuk melunasi sisa hutang, dan sedikit demi sedikit, dia belajar untuk hidup dengan lebih sederhana.
Di tengah perjalanannya memperbaiki hidup, Dimas menyadari bahwa gengsi yang dulu ia kejar hanyalah ilusi yang membawanya pada jalan yang salah. Dia belajar bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari barang-barang mewah, tetapi dari rasa syukur dan kedamaian batin.
Kini, meskipun tidak memiliki HP mewah seperti yang ia impikan, Dimas merasa lebih bahagia dan tenang. Di tengah kesederhanaannya, dia menemukan arti sebenarnya dari kebahagiaan dan menerima dirinya apa adanya tanpa harus bergantung pada gengsi atau status.
Beberapa bulan setelah menjual HP mewahnya, hidup Dimas mulai stabil. Dia tetap bekerja keras di toko, mencoba menabung setiap sisa uangnya untuk melunasi hutang. Meskipun hidupnya sekarang jauh dari kemewahan yang dulu ia dambakan, dia menemukan ketenangan dalam rutinitasnya. Dia bahkan mulai menghargai hal-hal kecil, seperti kebersamaan dengan teman-teman yang tulus dan perasaan bebas dari tekanan gengsi.
Namun, Dimas sadar bahwa hutang itu belum sepenuhnya lunas, dan perjanjian dengan Budi, si rentenir, masih menjadi bayangan yang mengganggu pikirannya.
Panggilan dari Budi
Suatu malam, saat Dimas sedang bersantai di kamar kontrakannya yang kecil, ponselnya berdering. Nama Budi muncul di layar, membuat dadanya berdebar. Dimas tahu dia harus segera melunasi sisa hutangnya, namun saat ini uangnya belum cukup.
Budi: suara mengancam di telepon “Mas Dimas, sudah cukup waktunya. Kamu janji bayar sisa hutangnya minggu ini, kan?”
Dimas: menghela napas panjang “Pak Budi, saya masih usaha. Sisa uangnya belum cukup, tapi saya janji akan bayar semuanya. Kasih saya waktu sedikit lagi.”
Budi: tertawa sinis “Dimas, kalau saya kasih kamu waktu terus, kapan lunasnya? Gue gak suka janji-janji kosong.”
Dimas merasa tertekan. Seolah tak ada jalan keluar dari masalah ini. Tapi, ketimbang menyerah, ia mencoba menenangkan diri. Dia menghubungi Pak Ridwan, berharap ada saran atau bantuan dari pria yang selalu memberinya nasihat bijak.
Konsultasi dengan Pak Ridwan
Di malam berikutnya, Dimas menemui Pak Ridwan di kafe kecil dekat toko elektronik. Ia menceritakan situasinya, berharap Pak Ridwan bisa memberinya ide atau solusi untuk melunasi hutangnya lebih cepat.
Pak Ridwan: dengan tatapan penuh simpati “Dimas, utang itu memang beban berat. Tapi kamu sudah mulai bertanggung jawab untuk memperbaikinya, dan itu langkah yang bagus. Saya tahu ini sulit, tapi jangan sampai kamu kehilangan harapan.”
Dimas: tersenyum lemah “Terima kasih, Pak. Saya cuma takut nggak bisa bayar tepat waktu. Saya gak mau dikejar-kejar lagi.”
Pak Ridwan terdiam sejenak, lalu menawarkan ide yang mengejutkan Dimas.
Pak Ridwan: “Bagaimana kalau kamu bantu saya di toko elektronik? Gajinya memang tidak besar, tapi kalau kamu ambil shift tambahan, setidaknya penghasilanmu bertambah.”
Dimas merasa haru mendengar tawaran itu. Ia tahu Pak Ridwan adalah orang yang tulus, dan tawaran tersebut adalah kesempatan untuk menambah penghasilannya. Tanpa ragu, Dimas menerima tawaran Pak Ridwan untuk bekerja paruh waktu di toko.
Bekerja Keras dan Berjuang
Dimas mulai menjalani hari-hari yang lebih panjang. Di pagi hingga sore hari, ia bekerja di toko kelontong, dan di malam hari ia membantu Pak Ridwan di toko elektronik. Kehidupannya kini penuh dengan kesibukan, namun di balik semua itu, ia merasa bangga. Setiap langkah kecil membawa dirinya lebih dekat pada kebebasan dari hutang.
Lambat laun, Dimas berhasil mengumpulkan cukup uang untuk membayar sisa hutangnya. Suatu malam, setelah menghitung hasil tabungannya, ia merasa lega mengetahui bahwa ia cukup untuk melunasi semua yang tersisa.
Pertemuan Terakhir dengan Budi
Dengan tabungan di tangan, Dimas menemui Budi untuk melunasi hutangnya. Budi memandangnya dengan senyum tipis saat Dimas menyerahkan uang yang ia kumpulkan dengan susah payah.
Budi: tertawa kecil “Akhirnya, ya, Dimas. Gue kagum juga kamu bisa lunasin. Banyak orang yang datang ke gue gak pernah bisa bayar sampai akhir.”
Dimas: dengan nada lega “Saya sadar, Pak, ambisi saya dulu memang salah. Tapi terima kasih atas waktu yang Bapak berikan.”
Budi hanya mengangguk, dan setelah transaksi selesai, Dimas merasa bebas. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa merdeka dari tekanan hutang dan gengsi yang selama ini menghantui.
Kebahagiaan Sederhana
Setelah kejadian itu, Dimas memilih hidup yang sederhana dan apa adanya. Meski tak lagi memiliki HP mewah atau barang-barang mahal, ia merasa lebih bahagia. Kebahagiaan datang dari rasa syukur dan penerimaan diri, bukan dari barang-barang yang hanya memperdaya mata.
Di sela kesibukannya, ia sering berbagi kisah pada teman-temannya, memberi nasihat pada yang muda tentang bahaya gengsi yang dapat menghancurkan hidup. Dari perjalanannya, Dimas belajar bahwa harga diri tidak pernah ditentukan oleh barang yang kita miliki, melainkan oleh ketulusan hati dan kemauan untuk bertanggung jawab.
Kini, Dimas menjalani hidup dengan tenang, bekerja keras dengan jujur, dan menjaga harapan bahwa ia tak akan lagi terjebak dalam ambisi kosong yang pernah menghancurkan dirinya. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....