Friday, October 25, 2024

Para Pengemis yang Bertahan Hidup di Tengah Padatnya Jalan Jakarta

Para Pengemis yang Bertahan Hidup di Tengah Padatnya Jalan Jakarta
Hai Sobat Kumpulan Cerpen Siti Arofah Kali ini aku mau menceritakan sebuah kisah Di jalanan yang padat dan gemerlapnya Jakarta, terdapat harta karun yang hilang: para pengemis yang bertahan hidup di pinggiran jalan. Bagaimana mereka mempertahankan eksistensi mereka di tengah kerasnya kehidupan di kota ini, dan bagaimana impian-impian mereka terkubur di balik derita yang mereka jalani setiap hari ?

Jakarta, kota yang tak pernah tidur, terus bergerak dengan laju yang tak kenal henti. Setiap harinya, ribuan kendaraan melintas di jalan-jalan utama, memenuhi udara dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga dan asap knalpot yang tebal. Di balik gemerlap pusat perbelanjaan dan gedung-gedung tinggi, ada realitas lain yang tersembunyi—realitas yang seolah-olah tak terlihat oleh mata sebagian besar orang. Para pengemis, yang tak berdaya di pinggir jalan, menyaksikan kehidupan yang terus berlalu di depan mata mereka. Di mata mereka, Jakarta adalah ladang impian yang tak pernah bisa mereka miliki.

Di sudut perempatan jalan Thamrin, seorang perempuan tua dengan pakaian compang-camping duduk bersandar di tembok yang retak. Namanya Mbok Sari, usianya sudah lebih dari 60 tahun, namun hidup tak pernah memberikan kelembutan untuknya. Tangannya yang berkeriput menggenggam kaleng berkarat, berharap beberapa koin jatuh ke dalamnya dari tangan-tangan pejalan kaki yang tak peduli. Di sampingnya, duduk Bayu, anak laki-laki berusia 10 tahun yang wajahnya penuh debu. Bayu bukan cucu Mbok Sari, namun anak yang ditinggalkan ibunya bertahun-tahun lalu. Sejak itu, mereka berdua menjadi rekan dalam penderitaan, berjuang bersama di jalanan kota ini.

"Mbok," suara Bayu terdengar lirih di tengah keramaian jalan. "Aku lapar, Mbok."

Mbok Sari menatap wajah kecil yang menyimpan kepedihan itu. Hatinya hancur, namun tak ada yang bisa ia lakukan. Hari itu, tak ada cukup uang yang terkumpul untuk sekedar membeli sebungkus nasi. Beberapa koin yang ada di kalengnya hanya cukup untuk air minum.

"Sabar ya, Nak. Nanti kalau ada orang baik yang kasih uang, kita beli makan," jawab Mbok Sari, suaranya terdengar parau karena kelelahan. Dalam hatinya, dia memanjatkan doa, berharap seseorang akan tergerak hatinya untuk membantu mereka.

Waktu berlalu, dan arus manusia yang berjalan di trotoar terus bergerak tanpa henti. Ada yang berjalan dengan tergesa-gesa, ada yang sibuk melihat layar ponsel mereka, dan sebagian besar tak memperhatikan keberadaan Mbok Sari dan Bayu di sudut jalan itu. Mereka hanyalah bagian dari pemandangan kota yang diabaikan.


Baca juga Mencintaimu Adalah Sebuah Pilihan


Seorang pria berjas rapi melintas di depan mereka. Wajahnya serius, tangannya memegang ponsel sembari berbicara keras dalam bahasa Inggris, mungkin sedang dalam pertemuan bisnis. Sesaat, pandangannya beradu dengan Mbok Sari, tetapi ia segera memalingkan wajah dan berjalan lebih cepat, seolah-olah keberadaan mereka adalah sebuah gangguan yang ingin ia hindari.

Mbok Sari menunduk, berusaha menahan air matanya. "Kenapa orang-orang nggak lihat kita, Yu?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Apa kita ini hantu di mata mereka?"

Bayu menatap Mbok Sari dengan polos, tapi ada kesedihan mendalam yang terbaca di sorot matanya. "Mungkin kita memang nggak penting, Mbok. Mereka kan sibuk sama urusannya. Kita cuma ganggu aja."

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan pakaian modis mendekat. Ia mengeluarkan uang kertas sepuluh ribu rupiah dari tasnya dan meletakkannya di kaleng Mbok Sari, tanpa berkata apa-apa, lalu pergi begitu saja. Mbok Sari menatap uang itu dengan rasa syukur yang mendalam, meskipun tahu bahwa sepuluh ribu rupiah hanya cukup untuk makan mereka hari ini.

"Alhamdulillah," desis Mbok Sari. "Ayo, Yu, kita beli makan. Tapi kamu aja yang makan, Mbok nanti aja."

Bayu menggeleng cepat. "Nggak, Mbok. Kita makan sama-sama. Nanti Mbok sakit kalau nggak makan. Bayu masih kuat."

Hati Mbok Sari bergetar mendengar ucapan Bayu. Anak kecil ini, yang seharusnya menikmati masa kecilnya, malah tumbuh dalam kerasnya jalanan. Ia seharusnya bermain, bersekolah, dan bercita-cita tinggi. Tapi kenyataannya, Bayu harus bertahan hidup bersama Mbok Sari, mengejar sisa-sisa kepedulian yang tersisa di tengah hiruk pikuk kota ini.

Sambil berjalan mencari warung nasi murah, Mbok Sari dan Bayu melewati berbagai sudut kota yang dipenuhi oleh orang-orang sibuk. Jakarta tampak megah dengan gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit. Namun, di mata mereka, kota ini seperti labirin tanpa jalan keluar. Mereka hanyalah harta karun yang hilang di tengah kota yang tak peduli.

Sesampainya di sebuah warung kecil di pinggir jalan, Mbok Sari memesan sebungkus nasi bungkus sederhana. Penjual warung, seorang ibu paruh baya yang sudah mengenal Mbok Sari dan Bayu, menyambut mereka dengan senyum lembut.

"Mbok Sari, Bayu, makan sini aja, nggak usah bawa pulang. Kalau nggak cukup uangnya, bilang aja. Ibu tambahin," kata penjual warung itu sambil memberikan dua porsi nasi kepada mereka.

"Terima kasih banyak, Bu," jawab Mbok Sari dengan mata berkaca-kaca. "Semoga Allah balas kebaikan Ibu."

Mereka duduk di bangku kayu sederhana di depan warung itu, menikmati nasi yang mereka terima seolah-olah itu adalah hidangan paling lezat di dunia. Setiap suap makanan terasa seperti anugerah, dan dalam kebersamaan itu, meskipun hanya sesaat, mereka merasakan kebahagiaan yang sederhana.

Namun, di balik senyum tipis yang tergurat di wajah Mbok Sari, ada kepedihan yang mendalam. Di tengah tawa Bayu yang polos, tersimpan kekhawatiran akan hari esok—apakah mereka bisa makan lagi, apakah mereka bisa bertahan hidup di tengah kerasnya kota ini.

Setelah selesai makan, mereka kembali ke tempat semula, duduk di pinggir jalan, menunggu kebaikan hati orang-orang yang lewat. Malam mulai tiba, dan lampu-lampu jalan mulai menyala. Jakarta yang gemerlap terlihat begitu megah, namun bagi Mbok Sari dan Bayu, kota ini adalah raksasa yang dingin—indah dari kejauhan, namun tak pernah memberi kehangatan bagi mereka yang ada di bawahnya.

"Kamu nggak pengen sekolah, Yu?" tanya Mbok Sari tiba-tiba, matanya memandang Bayu yang tengah menatap lampu-lampu kota.

Bayu menunduk, mengoyak-ngoyak ujung bajunya yang sudah usang. "Pengen, Mbok. Tapi Bayu tau, nggak mungkin. Kita nggak punya uang. Nanti kalau Mbok udah nggak ada, Bayu harus bisa cari uang sendiri."

Mbok Sari terdiam, menatap Bayu dengan kesedihan yang tak terucapkan. Anak ini begitu tabah, begitu dewasa untuk usianya. Di dalam hati Mbok Sari, ada harapan kecil bahwa suatu hari, kehidupan Bayu akan berubah—bahwa dia akan menemukan jalan keluar dari penderitaan ini. Namun, Mbok Sari juga tahu, di dunia ini, tidak semua impian bisa menjadi kenyataan.

Malam semakin larut, dan arus lalu lintas mulai berkurang. Jalanan yang sebelumnya padat kini mulai sepi. Angin malam yang dingin menyapu tubuh mereka, namun mereka tetap bertahan di tempat itu—menanti, berharap, meskipun mereka tahu bahwa keajaiban jarang terjadi di sudut kota ini.

"Bayu," kata Mbok Sari dengan suara pelan, "Mungkin hidup kita sulit, tapi ingat, Nak. Kamu itu harta karun yang Mbok punya. Jangan pernah lupakan itu. Meski dunia ini nggak melihat kita, kita tetap berharga."

Bayu menatap Mbok Sari, matanya berbinar. "Bayu nggak akan lupa, Mbok. Bayu akan selalu jaga Mbok."

Di tengah gemerlap kota yang terus berputar, mereka hanyalah dua jiwa yang berjuang untuk tetap ada. Mereka mungkin tak pernah dikenal, tak pernah dianggap penting, namun dalam setiap hari yang mereka lewati, ada kekuatan luar biasa yang tersembunyi—kekuatan untuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan, dan kekuatan untuk tetap berharap di saat semua terasa mustahil.


Baca juga Cinta Yang Seharusnya Diperjuangkan


Harta karun yang hilang itu, sebenarnya, tak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya tersembunyi di balik keriuhan Jakarta, menunggu untuk ditemukan oleh mereka yang mau melihat lebih dalam, yang mau mendengarkan suara-suara yang terlupakan. 

Malam semakin larut, dan udara Jakarta yang dingin terasa menusuk tulang. Mbok Sari dan Bayu masih duduk di pinggir jalan, menatap lampu-lampu kendaraan yang sesekali melintas. Keramaian mulai berkurang, dan suara-suara klakson yang tadinya mendominasi kini semakin jarang terdengar. Waktu seolah bergerak lambat, tetapi bagi mereka, setiap detik adalah bagian dari perjuangan yang tak ada ujungnya.

"Mbok," Bayu tiba-tiba berbicara, suaranya pelan namun terdengar penuh dengan keteguhan, "Kita sampai kapan begini? Apa hidup kita bakal terus kayak gini?"

Mbok Sari terdiam, menatap wajah kecil Bayu yang penuh dengan kelelahan, tapi ada juga keteguhan di sana. Hati kecilnya ingin memberikan jawaban yang penuh harapan, tetapi kenyataan hidup yang mereka jalani begitu keras.

"Sabar ya, Nak," jawab Mbok Sari dengan suara pelan, mencoba menahan air matanya. "Mungkin hidup kita berat sekarang, tapi selalu ada jalan kalau kita terus bertahan. Mbok nggak tau kapan keadaan akan berubah, tapi yang Mbok tau, kita harus terus berusaha."

Bayu mengangguk pelan, namun di dalam hatinya ada pertanyaan yang terus berkecamuk. Setiap hari, ia melihat orang-orang dengan kehidupan yang begitu berbeda dari dirinya. Ada yang berbelanja di mal-mal mewah, ada yang duduk nyaman di dalam mobil, ada yang tertawa riang tanpa memikirkan besok harus makan apa. Di usia yang masih muda, Bayu sudah paham betul bahwa dunia ini tidak adil.

"Bayu kadang iri, Mbok," katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih sedih. "Kenapa mereka bisa punya segalanya, sementara kita bahkan untuk makan aja susah?"

Pertanyaan itu menggema dalam hati Mbok Sari. Di dalam setiap kesulitan yang mereka hadapi, ia juga sering bertanya hal yang sama kepada dirinya sendiri. Kenapa hidup begitu tak adil? Kenapa ada yang bisa hidup nyaman, sementara yang lain harus berjuang hanya untuk bertahan hidup?

Mbok Sari menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. "Bayu, hidup ini memang seringkali nggak adil. Tapi kita nggak boleh berhenti berharap. Kadang, kebahagiaan itu datang dari hal-hal kecil yang kita punya. Mbok bersyukur ada Bayu yang selalu setia di samping Mbok."

Bayu menatap Mbok Sari dengan mata yang berbinar, meskipun rasa sedih masih terasa di dalam hatinya. Bagi Bayu, Mbok Sari adalah satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini. Ia tak ingin mengecewakan Mbok, meskipun terkadang hatinya penuh dengan kekecewaan dan rasa tak berdaya.

Ketika mereka larut dalam pembicaraan itu, seorang pria tua dengan pakaian yang sama lusuhnya menghampiri. Namanya Pak Manto, seorang pengemis tua yang sering berbagi sudut jalan dengan Mbok Sari dan Bayu. Meski hidupnya juga penuh dengan penderitaan, ada kehangatan dalam diri Pak Manto yang selalu membuat orang lain merasa nyaman di sekitarnya.

"Malam, Mbok, Bayu," sapa Pak Manto dengan senyum tipis yang selalu ia pancarkan. "Bagaimana hari ini? Ada rezeki sedikit?"

"Alhamdulillah, ada, Pak," jawab Mbok Sari dengan sopan. "Tadi ada orang baik yang kasih sepuluh ribu. Cukup buat makan kami malam ini."

Pak Manto mengangguk sambil duduk di samping mereka. "Syukur ya, Mbok. Yang penting kita masih bisa makan. Hidup memang keras, tapi kita harus tetap bersyukur sama apa yang kita punya."

Mereka bertiga duduk dalam keheningan, memandangi kota Jakarta yang masih berdenyut meskipun malam semakin larut. Di kejauhan, lampu-lampu gedung pencakar langit tampak berkilauan, seolah menunjukkan sisi kota yang megah dan penuh kemewahan. Namun, di sudut kecil ini, kemewahan itu tak ada artinya. Mereka hanya bisa memandang dari kejauhan, tanpa pernah merasakan apa yang ada di dalamnya.

"Pak Manto," Bayu tiba-tiba memecah keheningan. "Kenapa kita harus hidup di jalanan? Apa nggak ada cara lain buat kita keluar dari sini?"

Pak Manto menatap Bayu dengan pandangan lembut, matanya yang keriput penuh dengan pengalaman hidup yang panjang. "Nak, setiap orang punya jalannya masing-masing. Ada yang jalannya mulus, ada yang terjal. Kita mungkin diberi jalan yang sulit, tapi itu bukan berarti kita nggak bisa keluar dari sini. Yang penting, kita jangan pernah menyerah."

"Tapi Pak, sampai kapan kita harus begini?" Bayu mendesah, kepedihan di suaranya jelas terasa.

Pak Manto tersenyum tipis. "Kita nggak tau sampai kapan, Nak. Tapi selama kita masih berjuang, selalu ada harapan. Mungkin suatu hari nanti, kamu akan menemukan jalan keluar yang Mbok Sari dan aku nggak bisa temukan. Kamu masih muda, hidupmu masih panjang. Jangan putus asa hanya karena sekarang berat."

Malam semakin dingin, dan jalanan semakin sepi. Namun, dalam kesunyian itu, ada percikan harapan yang muncul dari setiap kata yang diucapkan. Mereka, para pengemis yang terlupakan, mungkin tak memiliki banyak, tapi mereka masih memiliki satu sama lain.

Sementara sebagian besar kota Jakarta tertidur dalam kenyamanan, mereka tetap terjaga, bertahan di bawah langit malam yang penuh bintang. Impian mereka mungkin terkubur di balik kerasnya kehidupan, namun semangat untuk bertahan hidup masih menyala, meskipun hanya dalam nyala kecil. Mereka adalah harta karun yang hilang di tengah gemerlapnya kota—berharga, namun sering kali diabaikan oleh dunia yang terus bergerak tanpa memperhatikan mereka.

Dan meskipun mereka tersembunyi di balik hiruk pikuk kota, kisah mereka adalah bagian dari Jakarta itu sendiri. Kisah tentang keberanian, tentang keteguhan hati, dan tentang harapan yang tak pernah benar-benar padam. Demikian Kumpulan Cerpen Siti Arofah kali ini semoga berkenan di hati.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....