Friday, August 28, 2009

Air Mata Aulia

Kumpulan Cerpen Siti Arofah . "Ada yang salah dalam keluargaku, Ra" kata-kata Aulia begitu mengejutkan aku. Kami yang telah lama pernah menjalin persahabatan akhirnya saling berangkulan. Tak terasa air mata Rara membasahi baju ku. Ku coba mengucap air matanya dengan tissue yang kuambil dari sebuah kotak tissue yang ada di dalam mobilku. Kami memang janjian untuk bertemu, meski pertemuan itu yang kami sempat hanya di dalam mobilku.

Dia yang dulu kukenal sebagai seorang yang periang, tiba-tiba saja mengubah pandanganku. Dulu kami sama-sama kuliah di sebuah Universitas di kelas yang sama. Kami masih sama-sama menjalin persahabatan saat kami telah tamat dari Universitas. Namun, seiring waktu aku tak pernah mendengar kabarnya lagi saat dia telah bekerja di kota lain. Dan kini, tiba-tiba dia datang kembali padaku, dengan sejuta tanda tanya yang ada pada dirinya.

"Ada apa Lia ?" Aku mencoba menenangkan hatinya.
"Aku bingung Ra, mau cerita dari mana ?" mungkin hatinya sudah mulai tenang setelah sedari tadi air matanya berjatuhan tak karuan.
"Aku kan sahabatmu, ceritakan saja padaku !" Aku berusaha semampu mungkin memberi semangatnya untuk bercerita padaku.

"Aku sudah menikah Ra, dan dari pernikahan itu, kami telah memiliki sepasang putra dan putri yang lucu-lucu. Keuangan kami juga terbilang cukup dan tidak kekurangan. Suamiku juga orang yang Taat pada agama, Ra. Mungkin sepintas, kami terlihat sebagai keluarga yang harmonis, tanpa adanya konflik. Entah, aku yang salah atau tidak, menurut ku begitu banyak sisi yang seharusnya kami benahi. Tapi aku tak kuasa mengutarakannya pada suamiku. Pertengkaran hebat yang pernah terjadi itu membuatku trauma untuk adu argumentasi lagi dengannya. Kini aku lebih memilih diam, menghabiskan air mata dalam setiap do'a-do'a ku." air mata Aulia jatuh lagi, membuat aku semakin iba mendengarnya.

"Sebetulnya ada apa, Lia ? Apa yang harus dibenahi ?" tanyaku seakan ingin berbagi.
"Suamiku belum lama sedang keranjingan internet, Ra." cuma itu kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Apa hubungannya ?" Aku mencoba bertanya untuk mengetahui lebih jelas lagi.

"Aku juga bingung, Ra. Apa aku salah meminta waktunya di rumah untuk kami ? Di saat dia hadir di rumah, sudah pasti anak-anak merindukan kasih sayang dan belaiannya. Sudah banyak kudengar pengakuan beberapa temanku, sebagai seorang ayah ia berusaha menyenangkan hati buah hatinya kala di rumah, katanya. Aku maklum, mungkin dia pasti lelah setelah seharian berada di kantor. Tapi, kalau memang dia lelah, mengapa setelah anak-anak telah tertidur di pembaringan dia malah memulai menyalakan CPUnya untuk browsing di dunia maya dengan alasan ingin mencari tambahan penghasilan.

Sering kali saat Si sulung ingin diantar ke belakang untuk buang air kecil, ayahnya malah menyentak keras "bikin capek orang tua aja !" Sungguh Ra, batinku seakan diiris-iris. Belum lagi, kata-kata ayahnya yang menurut aku tidak baik untuk psyicology seorang anak yang baru berusia tujuh tahun. Kadang Ayahnya memakai kata-kata yang menurutku tidak pantas untuk seorang bocah untuk hal-hal yang sifatnya tidak boleh dilakukan . Seingat aku, selama perjalanan hidupku bersama kedua orang tuaku dulu, mereka tak seperti itu mengajariku. Mereka berlemah lembut dalam kata-kata. Bukannkah Nabi juga dikenal sebagai orang yang berlemah lembut ?

Sedang si Bungsu, sekarang hobinya suka berteriak keras. Aku akui itu kesalahanku, kami pernah bertengkar di depan anak-anak. Seharusnya ini tak baik bagi anak-anak. Tapi apa boleh buat, kami sama-sama tak bisa meredam emosi, Ra.

Entah aku seorang yang egois atau tidak, aku merasa kesepian Ra. Manusiawi, bila aku juga butuh kehangatan kasih sayang, belaian dan pujian dari suaminya. Nyatanya, pujian itu mungkin sampai nanti akan jadi mimpi belaka buat diriku. Aku yakin, semua wanita akan senang bila dipuji, apalagi pujian itu datang dari mulut suaminya. Begitu mahal harga dari sebuah pujian untukku dari suamiku.

"Ada banyak asa yang ada dalam benakku, Ra. Aku ingin keluarga ku utuh bahagia, saling menyayangi. Tapi, lagilagi mulutku kelu untuk meminta semua itu di hadapan suamiku, Ra."

"Mungkin lebih baik, kamu berdoa ! Mungkin Allah akan membukan pintu agar suami mau ke jalan yang lebih baik " tak terasa air mataku jatuh juga mendengar Aulia bercerita panjang lebar. Aku mampu merasakan luka batinnya.

"Doakan ya, Ra. Aku juga minta doa darimu" Aulia tampak melebarkan mulutnya tanda tersenyum, meski tersenyum aku yakin masih ada guratan-guratan luka lainnya yang tak ia ucapkan di sini. "Eh, ini ada Dunkin Donat, ayo dimakan" suasana menjadi buyar setelah Aulia menawarkan donat yang telah dia belikan sebelumnya untuk ku.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....