Thursday, September 3, 2009

Cinta yang Tersia-sia

Cinta yang Tersia-sia
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Tiba-tiba saja aku kembali ke rumah tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada Astri, istriku. Tugas Dinas di luar daerah yang seharusnya masih dua hari lagi tidak aku ambil mengingat dua hari itu adalah jatah untuk plesiranku di sana. Aku memilih pulang karena rinduku pada anak dan istri tercinta sudah tak dapat terbendung lagi. Aku terlalu disibukkan oleh beberapa kegiatanku.
Di samping sebagai Direktur utama sebuah perusahaan yang baru beberapa tahun aku rintis, aku juga merupakan salah satu staff pengajar di sebuah Universitas, aku juga nyambi sebagai consultant di sebuah perusahaan milik orang. Akibatnya, waktuku sungguh-sungguh tersita karenanya. Terkadang aku pulang larut malam, hingga setibanya di rumah, istri dan buah hatiku telah tertidur nyenyak.

Dan ketika malam kedatanganku yang begitu mengejutkan ini, aku berusaha datang tanpa suara, tujuanku cuma satu, ingin membuat kejutan untuk istriku. Saat itu aku lewat pintu belakang. Setelah berhasil kulewati pintu belakang, lalu aku menuju kamar dan ku buka pintu kamarku. Seketika itu, mataku terbelalak. Aku begitu terhentak oleh pemandangan dua insan tanpa busana di atas ranjang kami. Setelah lampu kunyalakan, begitu jelas kedua manusia itu terlihat. Seseorang itu istriku sendiri, sedang sesosok satunya lagi adalah laki-laki yang telah lama aku kenal dan menjadi sahabatku, Suhendar.

Istriku yang berusaha membalut dirinya dengan sebuah selimut mencoba menghampiriku. Ia dengan air matanya mencoba memohon maaf padaku. Kupandangi dirinya tanpa sebuah kata apapun. Mulut ini rasanya kelu untuk berbicara. Darah dan nandi ku seakan melonjak-lonjak tiada menentu. Adrenalinku terpompa begitu cepat. Suhendarpun turut serta berdiri, setelah ia berhasil mengenakan pakaian dalamnya. Aku memegang bahunya sambil kupelototi wajahnya, kutunjukkan raut wajahku yang sedang marah padanya. Lalu, Aku pergi meninggalkan mereka. Pergi dengan sejuta perasaan kecewa.

Malam yang sunyi disertai oleh angin yang dingin dengan sebuah bulan yang enggan menampakkan cahayanya seolah menjadi saksi betapa aku sangat kecewa di hari ini. Kukendarai sebuah Kijang Innova milikku dengan hati penuh luka. Tak terasa air mata ini mengalir, menemani perjalananku yang entah aku belum menemukan kemana arah tujuanku. Yang aku tau, aku hanya ingin pergi jauh dari kedua manusia itu. Masih terlihat dalam bayanganku saat-saat pertama ketika aku melihat adegan yang tak terpuji itu. "Sungguh menjijikkan sekali !" batinku.

Di perjalanan itu tergambar flash back kehidupanku dulu saat-saat indah kala pertama bertemu dengan Astri. Dia begitu kukenal sebagai gadis yang supel, ramah dan baik hati. Setahun setelah aku mengenalnya, kuyakinkan diriku untuk menikahinya. Setahun kemudian, buah cinta kami lahir, menambah kebahagiaan kami berdua. Keadaan berubah setelah aku tiba-tiba di PHK karena perusahaanku terimbas oleh krisis global. berbekal dari uang pesangon PHK ini, aku mencoba membangun usaha kecil berbekal pengetahuanku. Usahaku nampaknya berhasil, nyatanya kian hari semakin maju dan berkembang. Saat itu aku ditawari oleh teman lamaku untuk mengajar di Universitas miliknya. Tawarannya aku terima. Jadilah aku sebagai manusia yang super sibuk. Ya ,... semuanya yang aku peroleh harus ada yang kukorbankan, waktuku bersama keluargaku. Aku seperti ini tak lain adalah untuk keluargaku juga, pikirku.

Tak bisa dipungkiri, dengan keadaanku yang seperti ini, membuat orang - orang yang berada di rumah merasa asing terhadapku. Terutama Astri, Meski ia masih mau melayaniku dengan membuatkan secangkir kopi susu dan setangkup roti di setiap pagi, namun ia selalu dingin bila menatapku. Tak pernah aku salahkan sikapnya demikian padaku. Aku juga mahfum jika ia merasa kecewa. Aku juga mampu merasakan apa yang ia rasakan. Kesepian nya tak bisa aku pungkiri. Mungkin inilah buahnya mengapa dia sampai berani berbuat nekad seperti itu.

Tiba-tiba saja naluriku menyuruhku untuk menuju ke rumah orang tua Astri. Setibanya di sana, nampak Ibu Astri sangat heran melihat kedatanganku yang malam-malam dan tanpa Astri atau Izal, anakku. Mukaku kutundukkan di hadapannya. "Ibu, maafkan saya yang tidak bisa menjaga Astri" kata-kataku begitu berat diiringi isak tangisku yang tak terperi. Bapak Astri membuka tirai pintu kamarnya. Sekonyong-konyong aku menghampirinya, "Pak, maafkan saya. Saya sudahi pernikahan saya dengan Astri". Lalu aku pergi dengan meninggalkan sejuta tanda tanya bagi kedua orang tua Astri. Aku berharap hanya Astrilah yang harus memberikan jawabannya.

2 comments:

  1. kasian... suami yang begitu menyayangi keluarganya dengan mengorbankan hidup untuk kelayakan kehidupan keluarga, malah dihianati istrinya yang begitu di cintai. pesan utuk istri-istri janganlah diperbudak oleh nafsu dan kesenangan sesaat. keluargamu adalah surgamu

    ReplyDelete

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....