Thursday, September 17, 2009

Luka itu Meninggalkan Bekas

Luka itu Meninggalkan Bekas
Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Pagi ini aku begitu terharu, suamiku memberi sebuah kecupan di pipiku. Setelah semalam tidurku tak pernah nyenyak.

Bulan menampakkan sinarnya secara penuh, aku menatapnya dengan berurai air mata. Malam itu begitu teramat panjang bagiku. Meski mataku kupaksakan untuk terpejam, tapi tetap saja aku tak bisa tidur. Hati ini seperti teriris-iris, bahkan kepalaku rasanya hampir pecah. Padahal masalahnya terlampau kecil, sebuah kata yang menyakitkan, yang datang dari suamiku sendiri.

Bagaimana mungkin aku sebagai istrinya sampai hati telah dicaci sebagai mahkluk yang paling hina di dunia ini. Aku benar-benar terluka, mengapa ia tak mau menjaga hati istrinya. Aku percaya, bila saja dengan orang lain, sudah pasti ia akan mampu menjaga hati orang lain. Sedang aku ? Aku ini adalah istrinya, teman yang akan menemani di sepanjang sisa hidupnya. Setiap luka sudah pasti akan meninggalkan sebuah bekas. Kenapa sampai hati ia mencaci aku seperti itu ? Pertanyaan ini menghiasi malam-malam tidurku.

Malam itu kususuri alam pikiranku untuk berkelana mencari jawaban. Jawaban yang selalu membuatku berkali-kali mengusap air mata yang tak sengaja mengalir begitu saja. Kenangan-kenangan masa lalu yang indah tanpa sengaja kembali kuingat dan terngiang-ngiang dalam otakku. Betapa kala itu terlihat indah tanpa tergores luka. Haruskah aku mengiba agar bisa kembali ke masa lalu itu ? Ah, gengsi ini rupanya masih menggelayut dalam angan-anganku. Buktinya, aku terasa enggan untuk melihat wajahnya. Tidurku masih membelakanginya. Hingga tak sadar aku tertidur juga pada akhirnya.

Beberapa kali aku terbangun. Malam itu aku begitu gelisah. Aku benar-benar tak mampu membohongi diriku sendiri yang seharusnya berduka. Tubuhku seolah tak rela jika aku mampu tertidur nyenyak. Setiap kali kata-kata yang menyakitkan itu hadir saat aku terhenyak dalam tidur. Meski kamarku sedingin AC yang kunyalakan, namun tidak dengan hatiku. Seharusnya kuikhlaskan kata-kata suamiku yang menyakitkan itu. Akupun tersadar akan kebodohanku. Segera kupejamkan mataku sambil berdo'a, semoga Tuhan memaafkan suamiku.

Adzan Shubuh berkumandang. Kami masih seperti seseorang yang tak pernah mengenal. Masing-masing saling tak bertegur sapa. Setiap Pandanganku kutundukkan. Enggan sekali rasanya aku melihat wajahnya. Meski demikian, kami masing-masing segera melaksanakan sholat shubuh. Suamiku ke masjid, sedang aku sholat di rumah. Karena rasa kantukku yang begitu dalam, akhirnya aku teruskan tidurku.

Baru saja aku membaringkan tubuhku dan menyelimuti diri dengan selimut tebalku, tiba-tiba saja suara pintu pagar berdesis keras, seperti sedang digeser. "Suamiku datang !" batinku. Buru-buru aku menarik selimut hingga menutupi mukaku. Ternyata aku masih enggan melihat suamiku. Padahal sungguh, keadaan seperti ini membuat aku sangat tak nyaman.

Dan tiba-tiba saja, suamiku memanggilku, "Ma..............Ma...... ." Kala itu aku sangat ketakutan sekali, bagai seorang yang hendak dieksekusi. Ada apa gerangan suamiku memanggilku di saat aku sedang tertidur. Pikiran-pikiran buruk itu mulai mempengaruhiku. Namun kegalauanku semalam sirna saat Aku tiba-tiba dikecupnya beberapa kali. "Maafkan aku, Ma !, Semalam aku benar-benar sedang bermasalah, Aku jadi emosi, akhirnya kamu yang jadi pelampiasan aku" Aku hanya terdiam kaku, tanpa ada sebuah kata apapun. Rasanya begitu kelu bibir ini lama mengatub. Meski aku memaafkannya, Lagi-lagi air mataku mengalir. Aku berusaha menghapus sebuah luka.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....