Tuesday, September 8, 2009

Maafkan Aku Ayah

Maafkan Aku AyahKumpulan Cerpen Siti Arofah. Ayah, guratan-guratan itu kini semakin jelas tergambar pada wajah ayah. Rambut ayah kini bukan lagi memutih tapi telah berubah menjadi semu kecoklatan setelah sebelumnya rambut yang hitam itu memudar menjadi putih. Bila ayah memegang tanganku, akan terasa sekali genggamannya yang dulu kokoh, kini lambat laun semakin gentar. Belum lagi, deretan gigi-gigi ayah yang dulu masih tertata lengkap kini yang tersisa tinggal dua buah di depan. Gigi palsu yang telah pernah dipesan nyatanya tak nyaman dipakai ayah.
Apakah ini mengartikan jika usia ayah sudah tak muda lagi ? Pertanyaan ini membuat bulu-bulu kudukku berdiri kaku. Ketakutan ini menghantui diriku jika aku kehilangan sosoknya. Sosoknya begitu teramat aku cintai.

Saat Ayah katakan sakit reumathik dan asam urat yang telah lama ayah rasakan, hatiku terasa sesak rasanya ingin menangisi betapa bodohnya aku yang tak mampu menolong ayah. Mungkin sudah jutaan obat yang baginya sudah bosan mau tak mau harus ditelannya. Hanya do'a yang mampu kupanjatkan kepada sang Illahi, berharap ayah tak diberi sakit lagi.

Saat ayah sedang bercerita, dengan senyumku yang penuh kebahagiaan mataku tak pernah luput memandanginya . Entah itu cerita serius, atau sebuah gurauan yang membuat aku tertawa lepas bersama-sama dengannya. Bicaranya sungguh menyenangkan, dari yang sederhana hingga ke topik yang serius. Meski kini pendengarannya sudah tak sempurna lagi. Terkadang aku harus rela mengulangi kata-kataku hingga beberapa kali. Ada rasa bersalah jika tak sengaja aku berkata dengan suara yang agak keras karena pendengarannya yang tak seperti dulu lagi.

Betapa gembiranya aku saat berkunjung ke rumah orang tuaku. Momen itu yang telah kutunggu setiap bulan. Entah, kadang juga aku tak menemuinya untuk sekian waktu yang cukup lama, menunggu sirnanya atas kesibukanku. Meski terkadang lewat sebuah telepon aku berharap mereka merasakan kehadiranku, namun tetap saja kerinduan ini menari-nari dalam ruang lamunanku.

Kini ayah sudah memiliki enam orang cucu yang gagah maupun cantik. Di tengah keenam cucunya, ayah nampak sangat bahagia. Jika liburan sekolah tiba, ayah memaksa cucunya untuk menginap di rumahnya. Meski rumahnya tak seperti sebuah istana, cucu-cucunya tampak menikmati hangatnya kebersamaan itu. Mereka tampak riang bermain ke sana kemari, mendengarkan cerita sang Eyang, atau sesekali diajarkan pelajaran yang Eyang ingat.

Senyumnya yang tak seindah dulu membuatku ingin selalu memeluknya. Suaranya yang kini tak lantang lagi, seolah sebagai perlambang usia ayah sudah tak muda lagi. Jika saja aku mampu berada di sampingmu di sisa hidupmu. Maafkan aku ayah, atas ketidakmampuan anakmu ini untuk bersama menemani hari-hari mu !

2 comments:

  1. Saya menjadi terharu setelah membaca Cerpen ini
    dan menjadi akan lebih memperhatikan kedua orang tua, jangan sampai mereka terlantar.

    ReplyDelete
  2. cerita yang sangat mengharukan bagi saya

    ReplyDelete

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....