Sunday, October 11, 2009

Apakah Buih-buih Hatiku Sedingin Hujan ?

Apakah Buih-buih Hatiku Sedingin HujanKumpulan Cerpen Siti Arofah. "Emak,..... dingin sekali Emak. Adi kedinginan Mak" berulang kali anakku mengeluh akan dinginnya siang ini, karena hujan telah mengguyur kota sepanjang dua hari dua malam ini. Tapi aku sama sekali tak bergeming, seakan keluhannya bagai hujan yang tengah membasahi bumi, ia akan berhenti dengan sendirinya. Sejenak mungkin aku tampak sebagai seorang ibu yang jahat pada anaknya, yang tega membiarkan buah hatinya terkungkung dalam dinginnya hujan.

Bukan tak ada rasa sayang lagi untuk anakku, getirnya hidup yang telah kami hadapi membuat kami harus bertahan hidup semampu kami. Suamiku yang mengais rupiah sebagai penjaja minuman gelas dari sebuah bis kota ke bis kota lainnya, tak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami yang tinggal di kota Jakarta dengan harga - harga kebutuhan pokok yang kian hari kian melambung. Situasi ini membuat kami harus hidup dengan seadanya. Pernah suatu ketika, aku sampai berpuasa , aku memilih mengalah kepada anakku, uang hasil jerih payah suamiku seharian dirampas preman tak dikenal. Bulir-bulir air mataku mengalir, namun seiring waktu tak ada kecengengan lagi. Inilah resiko hidup di ibukota dengan berbekal nekad.

Akhirnya kuputuskan untuk membantu suamiku. Di kala musim panas, aku membuat panganan Onde-Onde buatanku sendiri. Malam hari, di kala anakku tertidur lelap, aku menyiapkan mengolah Onde-Onde, agar paginya setelah sholat shubuh, Onde-Onde itu bisa langsung ku goreng dan tidak memerlukan waktu yang lama, sehingga para penjaja Onde itu bisa mengambil Onde-Onde buatanku lebih pagi. Cukup membuat lelah juga jika kuingat dalam semalam aku mampu membuat Onde sebanyak 3 baskom besar. Tapi semuanya kulakukan dengan hati yang ikhlas berharap meraih pahala. Mungkin karena inilah keringat yang menetes tak pernah menuai keluh setelah kukecup pipi anakku yang sedang tertidur pulas.

Sedangkan di musim hujan, aku tidak menjajakan Onde-Onde lagi. Aku memilih sebagai Peng-Ojeg payung, meminjamkan payung di jalan saat hujan. Kala di rumah, waktu istirahatku memang lebih menyisakan waktu lebih banyak. Namun, Adi, anakku lah yang harus membayar semuanya ini. Ia harus ikut denganku. Meski dingin , sesekali Adi yang dalam gendonganku tampak riang bermain-main dengan air yang terciprat ke tubuhnya. Namun tak jarang ia juga mengeluh dingin. Pelukanku rasanya tidak cukup baginya, mungkin karena tubuhku yang dingin mengikuti cuaca.

Sesekali kulihat sepasang manusia sedang di dalam mobil, anaknya yang sedang tertidur dipeluknya dalam pangkuan Mamanya. Kesejukan di dalam mobil itu mungkin tak sedingin apa yang kami rasakan di luar ini. Bahagia sekali mereka terlihat dalam wajah-wajah mereka yang dipenuhi sekuncup senyuman meski di luar tengah hujan tak mau berhenti. Kuciumi pipi anakku berkali-kali, berharap Adi juga mampu bahagia karena kecupanku. Untuk Sesaat kutangisi ketidak mampuanku ini, aku hanya mampu memberinya sebuah kecupan. Lamunanku buyar setelah kudapati bis berhenti tepat di depanku. Aku dan yang lainnya saling berebut pelanggan, menawarkan payung sekedar pelindung tubuh untuknya sesaat di tempat itu.

Jika kami telah tiba di rumah, buru-buru kubuatkan wedang jahe manis untuk aku, suamiku dan si kecil Adi, anakku. Kami semua rentan terhadap penyakit, terutama penyakit karena cuaca. Hanya kepasrahan terhadap Sang Illahi yang hanya kami mampu. " Yaa Tuhan, jangan kau beri nasib yang sama ini untuk anakku. "

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....