Thursday, February 4, 2010

Maukah Sekali Saja Kamu Memuji Aku ?

Kumpulan Cerpen Siti Arofah.Sudah hampir delapan tahun ini aku hidup bersamanya dalam sebuah bahtera pernikahan yang sakral bagiku. Kehadiran sepasang anak yang Tuhan titipkan kepada kami, menemani hari-hariku. Mereka seperti pengganti kesepianku. Aku percaya bahwa Tuhan tak akan memberi banyak kesedihan pada hamba-hambanya. Seharusnya kita jangan selalu mengeluh dan mengeluh. Masih banyak karunia Tuhan yang lain yang patut kita syukuri. Dan Tuhan pasti akan membalas apa yang telah kita syukuri.

Akhir-akhir ini aku sudah merasakan hal yang lain dari diri suamiku. Seolah pernikahanku terombang-ambing oleh ketidak pastian sikap suamiku padaku. Sering intonasi kata-katanya sudah tak tertata lagi. Entahlah, apakah aku terlalu serakah padanya ataukah ini adalah benar-benar kegundahanku sendiri ? Yang jelas hati ini selalu tercabik-cabik kala dia melontarkan sebuah kata untukku.

Suamiku belakangan selalu sibuk dan sibuk. Meski Aktifitas kerjanya hanya berkutat hingga jam 4 sore, namun kegiatannya di luar itu banyak sekali. Kamis ada pengajian, sabtu bulu tangkis dan minggu ada pengajian selama 3 - 4 jam. Di luar itu setiap hari atau terkadang dua hari sekali, entah itu di saat pagi atau menjelang malam ia mengurusi dan mengontrol usaha sampingannya. Praktis, aku dan anak-anak sering tak pernah merasakan kehadiran sosoknya itu.

Aku baru menemukan sebuah kalimat yang begitu menohok kerongkonganku. Sebuah kalimat yang seharusnya kubaca sebelum aku meng-iya-kan suamiku untuk membuka suatu usaha. " Jika anda ingin memiliki bisnis sampingan, itu berarti anda harus meng-ikhlaskan beberapa waktu anda bersama keluarga". Hingga kini aku begitu menghargai waktu. Bagiku uang bisa dicari kapan saja, sedangkan waktu tak akan pernah berulang kembali.

Sesekali malaikat dan bidadari kecil ku mengeluh, mereka protes pada kedua orang tuanya. "Ma, kapan sih Abi pulangnya ? koq pergi-pergi terus ? kan udah ada yang jaga ?" celoteh Si Kakak. "Sabar ya, Abi kan cari uang untuk bayar sekolah Mas", aku berusaha menenangkan kegundahan hatinya, meski sejujurnya aku juga menantinya. Lucunya lagi adiknya ,"Mama sih terlalu banyak masak, jadinya aku nangis". Ku akui, di pagi hari aku sibuk memasak, menyiapkan sarapan dan makan seharian untuk kami sekeluarga. Meski sesibuk apapun aku berusaha memandikan kedua anakku agar mereka merasakan tanganku. Di pagi hari, sesekali menggendongnya sambil memperhatikan kata-katanya atau sekedar memeluknya dengan sebuah kecupan sambil berucap "wangi ya, udah cantik sih, kan udah mandi". Semua itu berharap si kecil mau kutinggal kerja tanpa menangis. Sepulang kerja aku memasak lagi untuk persiapan memasak di pagi hari. Hingga maghrib berkumandang, aku baru bisa bersama anak-anak.

Jika suamiku sedang tak ada di rumah, kadang aku merasa lelah. Tak kupungkiri Anak-anak jaman sekarang nakalnya beda. Tapi pantaskah aku berkeluh kesah, sedang di luar sana masih banyak pasangan yang mendambakan dan menanti-nanti buah hatinya hadir ? Harusnya aku selalu ingat ini. Tapi lagi-lagi, aku masih belum bisa melapangkan dada. Bagiku seorang wanita karir sungguh teramat mememeras keringat jika pembantunya hanya ada di saat aku bekerja. Jika aku pulang ke rumah, pembantuku juga pulang.

Mungkin untuk anak-anak aku masih bisa sabar menghadapinya. Tapi, abinya ? sulit sekali rasanya aku berucap. Etikad yang sangat baik, jika suamiku mendalami agamanya. Saat ia di rumah, lebih sering ia berada di dalam kamar, menyendiri, seolah ia tengah asyik dengan dunianya sendiri. Entah itu dia tertidur karena lelah, atau menghafal surat Al Qur'an. Anak-anak asyik bermain sendiri sambil menonton TV di kamar tengah. Sedang aku sibuk di belakang memasak. Haruskah ia melalaikan keluarganya ? Apakah dia tak menyayangkan waktu untuk keluarganya ? Pertanyaan ini menyesakkan dadaku akhir-akhir ini.

Aku yakin semua wanita itu perasa, meski sekeras apapun wataknya. Atau mungkinkah aku orang yang sensitif ? Sampai saat ini aku tak tau harus bagaimana menghadapi pasangan yang pendiam yang hanya berbicara seperlunya. Seolah mulutku terkungkung rapat, menutup segala alam kreatifitasku. Kadang aku merasa serba salah, di saat aku merasa care, ia malah marah. Jika sesekali ia bicara, terkadang membuat hatiku teriris dan selalu kuingat dan kuingat lagi. Pernah suatu ketika dia katakan " ga' mungkin kamu deh, kamu kan wanita durhaka." Masya Allah, sekali ini aku harus menelan ludahku, mencoba menggulung kemarahanku kali itu.

Pernah aku katakan padanya "Dalam hidupku bersamamu, aku belum pernah sekalipun mendapat pujian". Ia bilang "memangnya kamu untuk dipuji-puji ?" Aku yakin kata-katanya sungguh-sungguh, ia mengucapkan kata-kata itu sambil menatap mataku. Sedang aku, karena tak kuat ku alihkan pandanganku ke tempat yang lain. Meski demikian, lamunanku tetap melayang, mengulang-ngulang kata-kata suamiku tadi. Hatiku seolah pecah berkeping-keping mendengarnya. Bagaimana mungkin ia mampu mengatakan itu untuk aku istrinya ? Apakah aku terlalu serakah jika ingin meminta sebuah pujian ? Berkali-kali kuucap istighfar. Mungkin begitu banyak dosa yang harus kutebus dengan cara seperti ini. Pernah aku melihat film cinta remaja. seorang sahabat menyarankan sahabat yang laki-laki untuk bersikap romantis saat PDKT dengan seorang cewek, ia bilang "kamu pujilah dia ! cewek kan senang dipuji".

Aku bahkan merasa lebih sering dicaci oleh suamiku sendiri. Bukankah itu menyakitkan ? Tegakah ia seperti itu pada pasangannya sendiri ? Tak bisakah ia menjaga sedikit saja perasaan pasangannya ? Lagi-lagi kupikir aku terlalu serakah. Ataukah aku terlalu larut dalam setiap yang kutemui ? Hingga kini kuredam semua dalam tangis khayalku. Aku percaya Tuhanlah yang masih menyayangiku. Tuhan begitu menganggapku teramat kuat untuk menjalani hidup yang seperti ini.

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk sobat-sobat yang mau berbagi sharing disini ....